Kamis, 15 Oktober 2009

Mencari asma

: Lelaki biru

taukah kau pandanganku terpaku
pada wajah indahmu?

memancar sinar biru dalam bis tua itu

wajahku temaram dalam
tatapan bening sorot mata

yang belum kutemukan
namanya dalam buku hatiku.



Labkom FIK, 161009

Selasa, 12 Mei 2009

Metamorfosa


: end sayang

Dengus keluhmu menderu bersama bis tua berkarat
hati yang dulu rapuh kini membatu.Takjub aku

Puzzle-puzzle itu mulai tersusun rapi dalam etalase biru atas nama

kedewasaan

Ah,jika kiranya tangismu tak teraba
Bahuku selalu tersedia..

(Bdg,151208)

Selasa, 24 Maret 2009

Di antara Dilema



Melbourne, 1 Maret 2007

Australia itu amat jauh untukku, dua hari yang lalu kusimpan belahan hati ini di kota nan indah, Bandung tercinta. Sebelum kuberangkat, telah kupinang gadis pujaan yang kukenal saat perjalanan pulang ke kampung halaman. Parasnya yang hitam manis tak bisa lekang dari ingatan, budi lembut ia tampakkan dalam perbuatan, bibirnya makin manis dengan kata-kata menyejukkan yang ia utarakan. Ah, Anggi yang manis.. Pertemuan di bis siang itu tak disangka membawaku ke hadapan orang tua sang gadis, kumeminangnya dan jika Tuhan mengizinkan, dua tahun lagi akan kusunting ia tuk jadi bidadari surgaku.


Melbourne, 12 September 2007

Waktu terasa cepat bagiku, setengah tahun sudah kutinggalkan jantung hatiku di kota dingin itu. Aku dan ia saling menunggu satu sama lain, aku menunggunya tuk ia selesaikan kuliah S1 keperawatannya di Bandung, dan ia menungguku tuk selesaikan studi beasiswa S2 teknik-ku disini. Rindu rasanya akan wajah sendunya, senyum mawar yang mekar di bibirnya, rindu ucap santun saat ia membalas sapaku kala itu. Aku rindu ia..enam bulan berlalu kutetap rindu dirinya, dan kutahu ia kan setia..


Melbourne,25 September 2008

Entah imel ke berapa ini, tak terhitung lagi. Kutulis kabar dan kerinduanku akan dirinya lewat surat elektronik ini dan mempercayakan listrik dan udara menyampaikan ini padanya, Anggi-ku tersayang. Satu tahun berlalu, Anggi juga pasti rindu akanku. Ah, geer sekali aku ini.. Dan kabar ini akan membuat Anggi belonjak gembira, senyum mawarnya kan mekar, karena saat libur musim panas ini aku akan pulang, aku pulang dan menginjakkan kaki kembali ke pangkuan pertiwi. Aku akan pulang untuk keluargaku, dan spesial untuknya gadis bermata jeli yang kutemui satu setengah tahun yang lalu. Kan ku lewati Iedul Fitri tahun ini di tengah orang-orang yang kucintai. Rasanya tak sabar diri ini tuk segera terbang ke kampung halaman. Satu tahun terasa berabad-abad kulewati hari tanpa bersamanya di sisi. Imel yang kukirim belum juga menghapus gelisahku, mungkin hanya bersua dengannya kan jadi pelipur lara ini. Dan beberapa hari lagi ku kan dapati sosok wajah yang kurindu, ya, ia kan tepat dihadapanku.


Garut, 1 Oktober 2008

Hari lebaran datang, hari ketika dosa-dosa berguguran dan badai maaf yang menyejukkan dilelang. Manusia lahir kembali bak reinkarnasi menjadi pribadi-pribadi fitri yang kan arungi hari baru kini. Sungkeman ba’da sholat Ied berlangsung khidmat, aku bersimpuh di kaki bundaku, kucium tangannya, hormat. Begitu pula pada ayahku. Lebaran hari yang gembira, kala kulihat keceriaan menggelayut di wajah sepupu dan keponakanku. Wajah ceria itu kan mampir pula pada paras bidadariku, Anggi. Jika Tuhan mengizinkan, pada hari lebaran kedua, aku kan menemuinya, diri ini akan menjadi kado lebaran terindah untuknya..

***


Assalamu’alaikum..Anggi, saya Nurul, istri sahnya A Wira. Sudah 2 bulan kami resmi menikah. Saya mohon Anggi tidak mengganggu suami saya lagi. Terimakasih..”- Nurul.


Pesan singkat itu membuat Anggi terguncang, tanpa sadar airmatanya pun berlinang. Ia bingung kemana mencari kebenaran yang selama ini Wira tutupi dengan rapi, mungkin ini alasannya tak memberi kabar 2 bulan terakhir. Lelaki pujaannya kini telah jadi imam orang lain, bukan dia yang selama ini menunggunya setia. Takkan ada pernikahan yang ia asa-kan satu tahun mendatang, hatinya hancur tak terperikan..

Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi..

Assalamu’alaikum..Anggi saya minta maaf atas ketidakjujuran saya selama ini. Saya sudah menentang pernikahan itu, tapi apa daya, ibu dan kakak-kakak saya terus mendesak. Kejadiannya begitu cepat dan saya tak bisa lagi mengelak. Tapi sungguh saya tak menghendaki pernikahan ini. Jika Anggi mau menunggu, Aa akan ceraikan Nurul!!”- A Wira.


Mesej itu kian membuatnya tersedu, ia bimbang, galau, atau entah apatah namanya. Hatinya seakan tersayat sembilu berkarat, sakit nian. Di satu sisi, ia begitu mencintai A Wira namun di sisi lain, tak mungkin ia tuk sakiti Nurul, keluarga A Wira, termasuk orang tuanya sendiri. Hatinya kian ngilu, jika orang tuanya digunjingkan lantaran anaknya merebut suami orang. Anggi kalut, ia hanya bisa pasrah akan semuanya, hanya pada Tuhan ia meminta kekuatan..

Butuh waktu berhari-hari tuk menguatkan hati, namun hari ini ia beranikan diri tuk katakan :

Assalamu’alaikum..A Wira yang baik..Insya Allah saya terima ini semua dengan ikhlas, mungkin memang kita bukan jodoh. Saya ingin A Wira bahagiakan teh Nurul, sekarang dia bidadarimu. Dan tolong jangan ceraikan Teh Nurul hanya untuk menikahi saya. Saya tak mau sakiti hati siapapun. Terimakasih dan semoga berbahagia..”- Anggi.


Di sebrang sana, ponsel Wira bergetar..

Ia membacanya. Tiba-tiba jantungnya bak berhenti berdegup, tenggorokannya tercekat seketika. Hatinya hancur, dan asa-nya tercerabut satu per satu..


True story (Kokoro No Tomo, Rea chan),15-17 Oktober 2008

Ade Fariyani (adefariyani_03@yahoo.com)


Selasa, 17 Februari 2009

"Pak Hasan, Guruku..."





AKU masih ingat pertama kali aku masuk SD, Pak Hasan sebagai kepala sekolah menyambutku dengan wajah berseri-seri. Beliau menyalami ayah dan ibu yang mengantarku sekolah untuk pertama kalinya. Beliau amat gagah dengan seragam dinas hijau kelabu yang dipakainya, rambutnya begitu rapi disisir ke belakang, kumisnya yang tipis serasi dengan wajah bulatnya. Sementara kulitnya yang cokelat gelap dengan leher pendek tak membuatnya kehilangan wibawa. Juga lesung pipi yang tampak kala tersenyum, begitu manis. Pak Hasan adalah guru senior di SD Senyum Mentari, be liau juga pemrakarsa sekolah yang kini telah berusia 20 tahun ini. Wajahnya yang ramah pada semua orang membuat murid serta para guru mudah becengkerama dengan beliau.

Aku masih ingat ketika suatu hari ibu terlambat menjemputku, aku berdiri di depan kelas dan menangis keras-keras. Saat itu sosok gagah Pak Hasan datang dan membuat tangisku reda dengan sekotak susu. Ia mengajakku duduk di ruangannya selama menunggu ibu yang beberapa jam kemudian datang. Bukan itu saja, Pak Hasan, kepala sekolah kami, selain pintar dalam bidang agama, juga mengurus masjid dan madrasah di depan sekolah. Tak tanggung-tanggung, beliau sendiri yang selalu turun tangan dalam pengelolaan masjid, dari mengurus kurban atau zakat sampai mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi pun beliau kerjakan. Padahal tak sepeser pun uang ia peroleh darinya. Kala itu Pak Hasan idola kami, aku dan Adine, teman sebangkuku.

Pak Hasan yang seorang lulusan MTs selalu mengajarkan kami tentang ibadah pada Allah, bukan hanya saat kita sedang membutuhkan-Nya. Tapi juga saat dilanda rasa senang dan gembira, kita justru harus bersyukur.

"Anak-anak, ingatlah Allah saat kalian sedang berada dalam keadaan senang maka Allah akan mengingat kalian saat kalian sedih. Sebentar lagi ujian nasional, bapak tahu ini hal yang berat buat kalian. Tapi percayalah, dengan belajar sungguh-sungguh dan berdoa, meminta kemudahan dan kelancaran pada Allah, bapak yakin kalian akan sukses menjalaninya. Bapak percaya kalian bisa. Begitu beliau menyemangati kami suatu hari menjelang ujian nasional.

Hari itu hujan amat deras mengguyur kota, aku yang belum sampai rumah setelah turun dari bus kota terpaksa berteduh pada sebuah halte kecil di seberang jalan tempatku diturunkan dari bus tadi. Tampaknya hujan besar hari ini, air hujan dengan kasar menampar-nampar dedaunan pohon angsana di seberang jalan, membuat daun dan rantingnya berjatuhan. Angin menerpa wajahku, alhamdulillah aku membawa jaket untuk melindungi tubuhku dari terpaan angin. Jalanan begitu lengang kini, mungkin orang-orang malas bepergian pada musim hujan kini.

Di halte tempatku bernaung, hanya ada aku dan seorang lelaki tua yang tampak kedinginan, bajunya yang lusuh dan celana yang coreng-moreng oleh tanah memperlihatkan bahwa ia habis menggali tanah di seberang jalan yang memang sedang ada perbaikan galian kabel. Wajahnya tenggelam dalam topi khas tukang becak, sehingga aku tak bisa begitu jelas melihatnya.

"Lagi neduh juga ya Pak?" ujarku membunuh keheningan. Yang ditanya malah celingukan, mungkin ia takut aku berbicara dengan orang lain, bukan dia. Setelah mengamati sekitar yang tak ada sesiapa, ia mendongakkan kepala melihat ke arahku.

"Iya, Neng". Wajahnya kulihat samar, terasa tak asing. Kumis yang tampak lebih tebal, rambut yang kelabu acak-acakan, mata yang ramah, kulit yang semakin legam, mungkin karena paparan teriknya mentari, dan leher pendeknya. Kurasa aku mengenalnya. Tapi kenapa ia di sini? Berpakaian lusuh bermandikan tanah, tak gagah seperti saat mengenakan seragam dinasnya. Namun senyum ramah itu tak bisa kumungkiri hanya dimiliki idola masa kecilku, Pak Hasan.

"Bapak, Pak Hasan?" tanyaku penasaran. Ia lebih jelas menatapku.

"Betul. Maaf, Neng siapa ya?"

"Siapa sih yang tidak tau Bapak, sekelurahan pun pasti kenal Bapak". Senyum berlesung pipi itu terbit dari bibirnya yang kering. "Saya Vira Pak, murid Bapak dulu."

"Oh, Neng Vira. Maaf bapak sudah tua. Sudah pikun, Neng".

"Ibu apa kabar, Pak? "

"Ibu baik Neng, alhamdulillah. Oh, iya Neng dari mana?"

"Saya pulang kuliah, berkat nasihat bapak alhamdulillah saya bisa menggapai mimpi saya untuk kuliah di Unpad. Terima kasih ya Pak," ujarku dengan sesungging senyum termanis yang langka kuobral.

"Alhamdulillah bapak juga senang Neng Vira biasa mewujudkan impian.". Senyum yang tadi mengembang, sekarang perlahan pudar, Pak Hasan mengatupkan mulutnya. Seketika kami diterpa keheningan. Keheningan.

Ingin rasanya kutanyakan alasannya di sini, kenapa tak mengajar lagi di sekolah yang ia bangun dengan tetes keringatnya. Aku penasaran, apa yang terjadi pada Pak Hasan dan keluarganya.

"Yah, Neng sekarang bapak tak lagi mengajar di Senyum Mentari, bapak sudah pensiun. Jadi bapak mencari pekerjaan lain, ya beginilah jadi tukang gali. Sebenarnya bapak sudah capek dan lelah, bapak inginnya istirahat. Tapi, kalau bapak istirahat, siapa yang ngasih makan keluarga? Sedangkan mengandalkan uang pensiunan yang tidak seberapa tak cukup untuk kebutuhan keluarga."

"Emang anak-anak bapak ke mana?"

"Semuanya sudah menikah Neng, sekarang mereka dibawa sama suaminya masing-masing. Yang pertama si Lastri di Cirebon, Yeni, yang kedua di Jakarta, yang terakhir si Tia di Yogya. Neng tahu 'kan anak bapak perempuan semua, setelah bapak nikahkan mereka semua, ya selesailah tugas bapak, tanggung jawab mereka ada pada suami. Jadi sekarang bapaklah yang jadi tulang punggung keluarga. Selain jadi tukang gali, bapak masih nyambi di masjid. Alhamdulillah bapak masih diberi kesehatan sama Gusti Allah..." kisahnya.

Aku jadi amat kagum pada Pak Hasan, meski usianya renta dan dunia telah mengecewakannya, beliau tetap bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Pak Hasan guruku, beliau tetap guruku, guru kehidupanku. Pak Hasan guruku dan akan terus menjadi idola masa kecilku dan hingga kini ia masih pahlawanku. **


Galamedia, Sabtu 6 Desember 2008

Minggu, 08 Februari 2009

Negri Kami..

Jika kau cium negri kami..
Negri kami wangi oleh anyir darah
yang meleleh dari onggokan daging muda tak berdosa

Jika kau tengok negri kami
Negri kami kaya akan istana-istana bunga bermahkotakan surga
walau awalnya keping-keping bangunan lantak dimemana

Jika kau dengar negri kami dari layar kaca
Jangan kau cucurkan air mata untuk kami yang tlah dijemput bidadari surga
bermandikan cahaya, menjadi syuhada

Jangan kau tangisi negri kami sia-sia
Tangisi saja jiwa kalian yang papa
yang belum jelas kemana pulangnya..

(Buat saudaraku di negri Palestina) Bandung,110109
Ade Fariyani (adefariyani_03@yahoo.com)