Selasa, 17 Februari 2009

"Pak Hasan, Guruku..."





AKU masih ingat pertama kali aku masuk SD, Pak Hasan sebagai kepala sekolah menyambutku dengan wajah berseri-seri. Beliau menyalami ayah dan ibu yang mengantarku sekolah untuk pertama kalinya. Beliau amat gagah dengan seragam dinas hijau kelabu yang dipakainya, rambutnya begitu rapi disisir ke belakang, kumisnya yang tipis serasi dengan wajah bulatnya. Sementara kulitnya yang cokelat gelap dengan leher pendek tak membuatnya kehilangan wibawa. Juga lesung pipi yang tampak kala tersenyum, begitu manis. Pak Hasan adalah guru senior di SD Senyum Mentari, be liau juga pemrakarsa sekolah yang kini telah berusia 20 tahun ini. Wajahnya yang ramah pada semua orang membuat murid serta para guru mudah becengkerama dengan beliau.

Aku masih ingat ketika suatu hari ibu terlambat menjemputku, aku berdiri di depan kelas dan menangis keras-keras. Saat itu sosok gagah Pak Hasan datang dan membuat tangisku reda dengan sekotak susu. Ia mengajakku duduk di ruangannya selama menunggu ibu yang beberapa jam kemudian datang. Bukan itu saja, Pak Hasan, kepala sekolah kami, selain pintar dalam bidang agama, juga mengurus masjid dan madrasah di depan sekolah. Tak tanggung-tanggung, beliau sendiri yang selalu turun tangan dalam pengelolaan masjid, dari mengurus kurban atau zakat sampai mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi pun beliau kerjakan. Padahal tak sepeser pun uang ia peroleh darinya. Kala itu Pak Hasan idola kami, aku dan Adine, teman sebangkuku.

Pak Hasan yang seorang lulusan MTs selalu mengajarkan kami tentang ibadah pada Allah, bukan hanya saat kita sedang membutuhkan-Nya. Tapi juga saat dilanda rasa senang dan gembira, kita justru harus bersyukur.

"Anak-anak, ingatlah Allah saat kalian sedang berada dalam keadaan senang maka Allah akan mengingat kalian saat kalian sedih. Sebentar lagi ujian nasional, bapak tahu ini hal yang berat buat kalian. Tapi percayalah, dengan belajar sungguh-sungguh dan berdoa, meminta kemudahan dan kelancaran pada Allah, bapak yakin kalian akan sukses menjalaninya. Bapak percaya kalian bisa. Begitu beliau menyemangati kami suatu hari menjelang ujian nasional.

Hari itu hujan amat deras mengguyur kota, aku yang belum sampai rumah setelah turun dari bus kota terpaksa berteduh pada sebuah halte kecil di seberang jalan tempatku diturunkan dari bus tadi. Tampaknya hujan besar hari ini, air hujan dengan kasar menampar-nampar dedaunan pohon angsana di seberang jalan, membuat daun dan rantingnya berjatuhan. Angin menerpa wajahku, alhamdulillah aku membawa jaket untuk melindungi tubuhku dari terpaan angin. Jalanan begitu lengang kini, mungkin orang-orang malas bepergian pada musim hujan kini.

Di halte tempatku bernaung, hanya ada aku dan seorang lelaki tua yang tampak kedinginan, bajunya yang lusuh dan celana yang coreng-moreng oleh tanah memperlihatkan bahwa ia habis menggali tanah di seberang jalan yang memang sedang ada perbaikan galian kabel. Wajahnya tenggelam dalam topi khas tukang becak, sehingga aku tak bisa begitu jelas melihatnya.

"Lagi neduh juga ya Pak?" ujarku membunuh keheningan. Yang ditanya malah celingukan, mungkin ia takut aku berbicara dengan orang lain, bukan dia. Setelah mengamati sekitar yang tak ada sesiapa, ia mendongakkan kepala melihat ke arahku.

"Iya, Neng". Wajahnya kulihat samar, terasa tak asing. Kumis yang tampak lebih tebal, rambut yang kelabu acak-acakan, mata yang ramah, kulit yang semakin legam, mungkin karena paparan teriknya mentari, dan leher pendeknya. Kurasa aku mengenalnya. Tapi kenapa ia di sini? Berpakaian lusuh bermandikan tanah, tak gagah seperti saat mengenakan seragam dinasnya. Namun senyum ramah itu tak bisa kumungkiri hanya dimiliki idola masa kecilku, Pak Hasan.

"Bapak, Pak Hasan?" tanyaku penasaran. Ia lebih jelas menatapku.

"Betul. Maaf, Neng siapa ya?"

"Siapa sih yang tidak tau Bapak, sekelurahan pun pasti kenal Bapak". Senyum berlesung pipi itu terbit dari bibirnya yang kering. "Saya Vira Pak, murid Bapak dulu."

"Oh, Neng Vira. Maaf bapak sudah tua. Sudah pikun, Neng".

"Ibu apa kabar, Pak? "

"Ibu baik Neng, alhamdulillah. Oh, iya Neng dari mana?"

"Saya pulang kuliah, berkat nasihat bapak alhamdulillah saya bisa menggapai mimpi saya untuk kuliah di Unpad. Terima kasih ya Pak," ujarku dengan sesungging senyum termanis yang langka kuobral.

"Alhamdulillah bapak juga senang Neng Vira biasa mewujudkan impian.". Senyum yang tadi mengembang, sekarang perlahan pudar, Pak Hasan mengatupkan mulutnya. Seketika kami diterpa keheningan. Keheningan.

Ingin rasanya kutanyakan alasannya di sini, kenapa tak mengajar lagi di sekolah yang ia bangun dengan tetes keringatnya. Aku penasaran, apa yang terjadi pada Pak Hasan dan keluarganya.

"Yah, Neng sekarang bapak tak lagi mengajar di Senyum Mentari, bapak sudah pensiun. Jadi bapak mencari pekerjaan lain, ya beginilah jadi tukang gali. Sebenarnya bapak sudah capek dan lelah, bapak inginnya istirahat. Tapi, kalau bapak istirahat, siapa yang ngasih makan keluarga? Sedangkan mengandalkan uang pensiunan yang tidak seberapa tak cukup untuk kebutuhan keluarga."

"Emang anak-anak bapak ke mana?"

"Semuanya sudah menikah Neng, sekarang mereka dibawa sama suaminya masing-masing. Yang pertama si Lastri di Cirebon, Yeni, yang kedua di Jakarta, yang terakhir si Tia di Yogya. Neng tahu 'kan anak bapak perempuan semua, setelah bapak nikahkan mereka semua, ya selesailah tugas bapak, tanggung jawab mereka ada pada suami. Jadi sekarang bapaklah yang jadi tulang punggung keluarga. Selain jadi tukang gali, bapak masih nyambi di masjid. Alhamdulillah bapak masih diberi kesehatan sama Gusti Allah..." kisahnya.

Aku jadi amat kagum pada Pak Hasan, meski usianya renta dan dunia telah mengecewakannya, beliau tetap bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Pak Hasan guruku, beliau tetap guruku, guru kehidupanku. Pak Hasan guruku dan akan terus menjadi idola masa kecilku dan hingga kini ia masih pahlawanku. **


Galamedia, Sabtu 6 Desember 2008

Minggu, 08 Februari 2009

Negri Kami..

Jika kau cium negri kami..
Negri kami wangi oleh anyir darah
yang meleleh dari onggokan daging muda tak berdosa

Jika kau tengok negri kami
Negri kami kaya akan istana-istana bunga bermahkotakan surga
walau awalnya keping-keping bangunan lantak dimemana

Jika kau dengar negri kami dari layar kaca
Jangan kau cucurkan air mata untuk kami yang tlah dijemput bidadari surga
bermandikan cahaya, menjadi syuhada

Jangan kau tangisi negri kami sia-sia
Tangisi saja jiwa kalian yang papa
yang belum jelas kemana pulangnya..

(Buat saudaraku di negri Palestina) Bandung,110109
Ade Fariyani (adefariyani_03@yahoo.com)