Kamis, 03 November 2011

Bahasa Indonesia di Bulan Bahasa

Bulan Oktober dikenal sebagai bulan bahasa. Momen ini dirayakan sebagai tugu penghormatan dan kebanggaan atas Bahasa Indonesia. Adalah Bahasa Indonesia yang sejak tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai bahasa persatuan. Masih kita ingat bahwa terdapat tiga poin yang disepakati dalam kumpulan pemuda terpelajar se-Indonesia saat itu. Yakni bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bisa kita bayangkan situasi saat itu, perwakilan pemuda negeri dari berbagai suku seperti Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Madura, dan lain-lain bermusyawarah untuk menyepakati salah satu hal vital bagi sebuah bangsa. Jauh sebelum panji kemerdekaan berkibar, para pemuda bervisi ke depan itu sudah merancang bahasa yang kelak akan digunakan sebagai tonggak komunikasi negara. Dengan latar belakang budaya yang berbeda, para pemuda yang dominan lahir dari keluarga bangsawan itu berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Karena saat itu, baik dalam pendidikan dan pergaulan mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Sedangkan bahasa suku hanya digunakan untuk membangun keakraban di keluarga atau dengan masyarakat awam. Setelah peristiwa Sumpah Pemuda, pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954 ditetapkanlah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pemilihan dan penetapan ini tak luput dari adu mulut dan bersitegang. Karena saat itu hingga kini pun bahasa melayu adalah bahasa pergaulan ketiga yang kerap digunakan setelah bahasa Jawa dan Sunda. Dapat kita lihat jumlah penduduk Jawa yang merajai sebagian besar penduduk Indonesia. Namun dengan hati legowo, kemufakatan ini dapat dicapai. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional ini merupakan usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.” Pemilihan bahasa Melayu ini sangat diperhitungkan secara matang. Salah satu pertimbangannya adalah ia sudah digunakan sejak masa kerajaan Hindu-budha masih berkuasa. Dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit (638 M) di Palembang yang menggunakan bahasa Melayu meski ditulis dalam huruf Pallawa. Bahasa Melayu pun menjadi linguis franca (bahasa pergaulan) saat kafilah dagang dari Gujarat dan Cina singgah di nusantara. Sejak zaman majapahit, ia menjadi bahasa pergaulan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filippina, dan sebagainya) hingga Asia Tenggara. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu khususnya bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.”. Peran bahasa amatlah vital bagi sebuah negara. Ia adalah tiang konektivitas dalam menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara. Memilikinya merupakan pokok utama dalam perkembangan suatu bangsa baik itu di bidang pendidikan, politik, pertahanan dan keamanan. Selepas pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan perkembangan kebangkitan bangsa mulai menggeliat. Bahasa Indonesia dibagi menjadi dua fungsi yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Pada UUD 1945 pasal 36 bab XV disebutkan bahwa bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan bahasa nasional digunakan dalam pergaulan antarsuku sebagai kebanggaan dan identitas nasional. Bahasa ini diaplikasikan agar tercipta satu kepaduan dan konektivitas yang sama. Dapat kita bayangkan jika tak ada bahasa penghubung, percakapan maka suku Bugis dan Jawa takkan mencapai titik temu. Sempat terdengar wacana, bahwa bahasa Indonesia akan diusung dalam pemilihan bahasa ASEAN. Di satu sisi kita patut berbangga. Namun di sisi lain, adakah bahasa persatuan kita ini mampu untuk unggul dari bahasa dari naegara lain? Dibandingkan negara seperti Jepang, Korea, Cina, India yang memiliki keunggulan dengan mampunya mempertahankan bahasa dan hurufnya yang otentik. Sedngkan indonesia lebih memilih untuk menggunakan huruf latin dan seakan mengubur huruf Pallawa yang notabene salah satu kekayaan bangsa yang patut dibanggakan. Penggunaan bahasa gaul atau lebih yang kini populer dengan bahasa Alay serta sikap antipati generasi muda kini terhadap karya sastra Indonesia perlu menjadi renungan. Padahal disanalah dapat kita akrabi dan jelajahi kekayaan literasi Indonesia. Mejamurnya novel remaja seperti chicklit, teenlit seakan menggeser kesohoran Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Buya Hamka, Idrus, Abdul Moeis, dan penulis seangkatannya. Pun ketidaktegasan pemerintah memberlakukan SBI (Sekolah Berstandar Internasional) menyampaikan bahasa asing sebagai pengantar pendidikan. Bukankah sudah jelas dalam UUD 1945 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengantar dalam pendidikan? Bila dibiarkan bergulir seperti ini, maka merupakan sebuah keniscayaan jika kecintaan bangsa terhadap bahasa Indonesia kian terkikis. Sikap positif itulah yang harus dibangun oleh kita, generasi muda Indonesia. Karena masa depan Bahasa Indonesia sebagai penentu eksistensi bangsa ada di tangan kita. Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa, “Penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.” Jika bangsa asing pun begitu memuja kebudayaan kita, mengapa kita tidak? Selamat merayakan bulan bahasa! Galamedia, 21 Oktober 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

Kisah-Kisah Sufisme Penyegar Jiwa

Buku : Melepas Dahaga dengan Cawan Tua : Hikmah-hikmah Islami Klasik untuk Generasi Modern
Penulis : Topik Mulyana
Penerbit : Grafindo Media Pratama, Juli 2011
Halaman : 224 halaman
ISBN : 978-602-84-5855-4


Melepas Dahaga dengan Cawan Tua : Hikmah-hikmah Islami Klasik untuk Generasi Modern hadir ditengah keringnya jiwa manusia postmodernisme kini. Postmodernisme yang kaya akan unsur materialisme, hedonisme, dan kapitalisme seakan tersegarkan oleh kumpulan prosa karya Topik Mulyana ini. Penulis menawarkan 10 prosa sufisme yang mencerahkan dan sarat akan nilai-nilai agama.

Dalam kisah “Tiga Pengendara Motor” kita diingatkan akan sebuah hadist Rasulullah. Pernah suatu masa ada 3 orang lelaki yang terperangkap dalam gua batu. Mereka berusaha mendorong batu penghadangnya namun tak mampu jua. Jalan terakhir, mereka memohon kepada Tuhan agar berkenan menyelamatkan. Mereka berupaya untuk “melobi” Tuhan dengan mengutarakan satu amalan pamungkas masing-masing. Antara lain bakti pada orang tua, tetap memberi di kala sempit, dan menghindari zina meski berkesempatan melakukannya.

Namun dalam kisah ini penulis mengadaptasi ke cerita modern. Setingnya berubah menjadi basement sebuah hotel yang diguncang gempa. Tiga orang pengendara motor terperangkap di antara reruntuhan bangunan. Dalam keadaan terdesak, akhirnya pun berniat “menego” Tuhan. Lelaki pertama mengaku taat menggunakan helm dan tak pernah melanggar rambu jalanan. Lelaki kedua yang meski dalam keadaan sibuk luar biasa ia tak pernah mengendarai motor di trotoar, dan lelaki terakhir sukses menahan amarah saat seorang menyerempetnya di jalan. Kisah ini mengajarkan kita hanya untuk pamrih pada Tuhan saja. Toh, tanpa kita minta pun Tuhan akan membalas kebaikan kita.

Kisah menarik lain digambarkan dalam “Guratan”. Sudah menjadi hukum alam bahwa setiap amal kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Dikisahkan seorang bernama Bun, seorang editor penerbitan buku islami tak sengaja membuat guratan pada mobil yang terparkir. Selidik punya selidik mobil tersebut ternyata milik seorang profesor. Karena saat itu Bun sedang dikejar waktu, maka ia menyelipkan nama dan nomor kontaknya pada wipper mobil. Tindakan tersebut ia lakukan sebagai tanggung jawab atas perbuatannya. Sesuatu yang mungkin jarang kita jumpai saat ini (Hal. 65).

Beberapa hari kemudian ia dihubungi sang pemilik mobil. Dengan niat purna ia bersedia bertanggung jawab atas kelalaiannya. Akhirnya Bun didapuk menjadi sopir pribadi sang profesor selama satu minggu. Berkelindanlah perjalanan Bun dan sang profesor dari mulai mengantarnya seminar hingga berkencan. Sempat professor itu menawarinya wanita sebagai “teman” untuk kesepiannya. Namun ia menolak (Hal. 76). Di akhir cerita, penulis memberi daya kejut yang indah untuk tokohnya itu.

Dalam “The Photograph”, mengingatkan bahwa setiap gerik-gerak kita selalu ada yang mengawasi. Tokohnya pun mencitrakan hasrat manusia terhadap dunia tak kunjung surut dan selalu tak merasa cukup. Seorang bernama Amar gandrung dengan yang namanya fotografi. Mulai dari kamera handphone hingga kamera digital dikoleksinya untuk memenuhi hasrat memotret yang kian menggelegak. Sampai pada akhirya ia berhasil menabung untuk membeli kamera DSLR yang lebih canggih. Melalui kenalan dan koneksinya, ia bergabung dengan grup mencinta potret memotret itu. Berkenalanlah ia dengan Adelita. (Hal.181)

Adelita seorang yang cantik dan menawan. Ia sudah mengenal fotografi dari sekolah dasar. Kekaguman Amar memuncak saat ia bertandang ke rumahnya. Aneka hasil jepretan menempel di ruangan dengan artistik yang luar biasa. Belum lagi koleksi kamera canggih dan alat cetak modern pun ia miliki. Amar semakin tercengang saat Adelita tak hanya memamerkan koleksinya. Lebih dari itu, Amar mulai tergoda. Kalau saja tak ada pesan singkat dari istrinya mungkin sudah terjadi hal yang nikmat namun maksiat. (Hal. 189)

“Kotak Infak” berkisah tentang dua buah rencana Tuhan yang saling menjalin. Sebuah mesjid di sebuah desa sedang mengadakan pembenahan. Rekonstruksi tersebut memakan biaya yang lumayan wah. Namun dengan kesadaran penuh para panitia tak mau menjadi peminta sumbangan di jalanan. Meski awalnya mereka sempat tergiur untuk melakukannya, namun sekuat tenaga mereka kembali meluruskan niat. Menurut mereka, niat yang baik seharusnya tak terkotori dengan proses yang kurang baik. (Hal. 101)

Di lain tempat, seorang bernama Gugun Gunira, seorang penulis autobiografi khusus pejabat daerah hendak menghibahkan motor barunya. Motor besar itu adalah pemberian seorang pejabat daerah yang telah ia buatkan buku autobiografi. Kabar terakhir menyebutkan bahwa sang pejabat terlilit kasus korupsi. Karena ia khawatir ada harta haram dalam motor tersebut, Gugun nekad menyedekahkan motornya saja (Hal.115). Di
akhir cerita kedua rencana itu menjadi sinergi kebaikan yang menguatkan.

Tidak seperti cerita modern biasa yang hanya memberi arti di permukaan, “Melepas Dahaga dengan Cawan Tua” berhasil membuat jejak nan dalam bagi pembacanya. Membaca kumpulan cerita sufisme ini layak menjadi momen muhasabah diri di tengah geliat postmodernisme masa kini.

Galamedia, 13 Oktober 2011

Rabu, 05 Oktober 2011

Yellow

Rembulan tlah purna bersinar di mega-mega kelabu.aku masih bersandar di pilar-pilar bunga menghitung gugurnya daun bohinian yang kuning menua.rasakan setiap detak arloji tua menghela setiap nafas-nafas ringkih menanti sang pejagal tiba.

kulelehkan dosa-dosa pada sela-sela bulir airamata.yang entah kapan habisnya.borokku mengkristal serupa koral sukar terkikiskan.Hanya Dia yang bisa sembuhkan luka-luka kusta.bernanah.
Laiknya daun kuning menua.Hanya pada-Nya segala muara..

Flamboyan


Aku jatuh cinta pada cahaya matamu.yang beningnya
bagai pualam tempat ku berkaca.merekah-rekah dalam
taman bunga hatiku


namun saat angin terasa dingin di batin.kutatap
arloji berkarat yang detiknya memburu jantungku.kamu berlalu
seiring gugurnya bunga dalam tubuh flamboyan itu..

Alarm Pengingat Keberadaan Tuhan

Judul Buku : Kang Soleh Naik Becak Menuju Surga
Penulis : Rudi Setiawan
Penerbit : Elex Media Komputindo, 2011
Halaman : 114 Halaman


Menjamurnya buku-buku motivasi islam akhir-akhir ini menandakan kebutuhan pengisian iman kita yang kerontang. Aktivitas yang menumpuk, masalah yang menggunung serta keterbatasan waktu untuk mendalami ilmu agama, membuat jurang pemisah antara kita dengan Sang Pencipta. Kita seolah sudah dilalaikan dengan dunia hingga khilaf kepada Pemilik dunia sesungguhnya. Buku ini bagai alarm yang mengingatkan kita untuk menuju kedamaian dan ketenangan tiada tara. Ketenangan abadi yang diperoleh dengan mengingat-Nya.

Kang Soleh Naik Becak Menuju Surga berkisah tentang optimisme dan kesyukuran dalam menjalani hidup (hal. 6). Seorang bernama Soleh berprofesi sebagai penarik becak. Ketika tiba meninggalnya, ia ditemui malaikat untuk dihisab. Terjadilah proses hitung-menghitung amal. Tenyata keputusannya ia beruntung dapat masuk surga. Keanehan ini dirasakan oleh seorang ulama kesohor, pemimpin yang jujur, dan seorang dermawan kaya yang meninggal bersamaan. Mereka harus menerima kenyataan masuk neraka. Maka lahirlah pertanyaan mengapa orang miskin seperti Soleh lolos masuk jannah Allah sedang mereka yang notabene “kaya amal” malah masuk neraka?

Keagungan Tuhan atas segala ciptaannya, penulis lagukan dalam kisah “Rembulan di Langit Doha”. Merupakan diari perjalanan penulis di sebuah kota bernama Doha. Suatu malam ia melihat rembulan yang begitu bulat dan terang menggantung di langit. Inilah yang membawanya pada rasa takjub Nabi Ibrahim yang menyangka bahwa bulan adalah Tuhan. Berbagai fenomena alam menunjukan eksistensi Tuhan, namun masih saja manusia tak mau beriman (hal. 36).

Sebuah kisah satir menggelitik ditampilkan penulis dalam “Dialog Imajiner Mbah Surip dan Mbah Marijan”. Kedua sepuh yang terkenal dengan lagu nyentrik dan kuncen gunung Merapi ini didapuk menjadi tokoh untuk memberi peringatan kepada manusia. Keduanya dikisahkan sedang menyicipi keindahan surga. Kemudian terlibat obrolan yang intinya merasa manusia begitu pongah. Kebanyakan manusia dengan mudahnya men-judge seseorang syirik dan merasa dirinya paling baik (Hal. 31). Seperti yang dilakukan Alm. Mbah Marijan terhadap gunung Merapi dianggap sebagai membangkangan terhadap Keesaan Tuhan. Padahal kesetiaannya mengemban amanah kuncen untuk menjaga kelestarian alam merupakan amal yang patut dibanggakan? Dalam istilah agamanya, habluminal’alamin (hubungan baik dengan alam) justru melengkapi akan habluminallah dan habluminannas.

Selain itu kisah pencarian cinta sejati dikupas dalam “Energi Cinta Jalaludin Rumi”. Tokoh dalam kisah ini gelisah karena belumlah menemukan cinta yang ia damba. Ia selami samudra ilmu hingga akhirnya terdampar dalam percakapan dengan seorang Jalaludin Rumi. Dari beberapa guru yang ia singgahi, Rumi-lah yang berhasil memberi penawar dahaga pencarian cintanya. Hingga pada akhirnya tokoh berujar, “Aku menangis membayangkan semua kesia-siaan yang kulakukan. Ya Allah, anugrahilah aku setetes Cinta. Agar aku bisa mencintai-Mu dengan Cinta yang sesungguhnya” (hal. 51).

Keindahan waktu subuh dipaparkan dalam “Hulu Subuh di Terminal Hat Yai”. Penulis yang tengah melancong ke daerah Thailand ini begitu syahdu mehamparkan fenomena subuh yang agung. Waktu subuh adalah salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Karena malaikat siap-siap naik ke langit setelah malamnya ia turun ke bumi menyapa hamba-hamba-Nya yang mendirikan sholat (hal.89-90).

Buku ini memuat 12 kisah inspiratif yang penulis buat dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Kisah yang disajikan pun tak ubahnya cerita pendek, bahkan ada beberapa cerpen didalamnya. Seperti kisah “Subali dan Sarmi” yang menceritakan Subali seorang penjahat kelas kakap dan Sarmi, pelacur yang telah malang melintang di dunia gelap. Kedua tokoh tersebut ibarat replika manusia yang telah lama tercebur dalam lumpur dosa. Namun hati tetap tak bisa mungkir dari kegelisahan jiwa. Akhirnya sebuah titik terang mereka rengkuh dengan susah payah. Sebuah jalan taubat kepada Tuhan ditempuh untuk mencapai kebahagiaan hakiki.

Buku ini sejatinya adalah kumpulan cerita inspiratif. Cerita dengan genre motivasi islami. Namun, sayangnya ada beberapa cerita yang sepertinya keluar dari jalur. Mungkin maksud penulis adalah menuangkan kisah kesehariannya. Namun sayangnya malah melantur dan keluar dari rel tema. Seperti pada cerita “Pengembaraan Jaka Umboro”. Memang dalam cerita dikisahkan bahwa Jaka Umboro bermaksud untuk memberantas kebatilan. Namun isinya lebih banyak tentang pertikaian dan diwarnai aksi silat. Penulis seakan melempar kita pada suasana konflik novel silat “Wiro Sableng” atau “Si Buta dari Gua Hantu”.

Atau pada kisah “Seorang Arab Badui dan Keledai”. Cerita yang utarakan dibiarkan menggantung atau entah penulis sengaja membuatnya seperti itu. Lagi-lagi label motivasi menjadi bias. Ketidaksenadaan ini membuat cerita motivasi yang diusung dari awal buyar.Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, kumpulan kisah inspirasi islami ini tetap memiliki energi untuk mengingatkan kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Ilahi.

Galamedia, September 2011

Membakar Kapal Bersamamu



“Surabaya!”
“Jadi?”. Aku mencari keyakinan itu di matamu.
“Iya, aku akan menjemputnya disana.”
Kau masih mematung dengan buku ber-cover marun di tanganmu. Pengunjung sedang tak banyak. Makanya aku membersamaimu. Aku pandang lekat wajahmu. Wanita yang kukenal baru beberapa minggu. Namun rasa ini, sulit kudefinisikan.
“Mas, ada buku tafsir Al-Misbah ga?”
Aku berlalu darimu saat seorang ibu berjilbab kuning itu bertanya. Beberapa jenak aku meninggalkanmu mematung disana. Masih dengan buku marun-mu. Beberapa pengunjung mengerumun pada rak yang sama.
Tiga minggu lalu di deretan rak itu aku mengenalmu. Gadis dengan jilbab urakan. Beralasan mengisi waktu selama panggilan kerja setiap hari kau ke toko buku ini. Bodohnya tak ada satu pun buku yang kau beli. Kau anggap toko ini bagai perpustakaan saja. Tiap hari melahap buku yang berbeda. Kau terlihat bahagia karenanya. Aku pun bahagia bisa melihatmu. Hingga aku mengenalmu, kini.
“Seminggu yang lalu email-nya kukirim. Baru kemarin dibalas.” Kau menyandarkan punggungmu di rak buku. Kulakukan hal serupa.
“Kenapa ngga Bandung aja sih?”
“Aku mau bakar kapal!”. Kau seolah berkata pada buku. Lalu tatapanmu terhunus tepat di ulu hatiku. “Aku mau mandiri. Jauh dari orang tua. Sepertimu!”
Aku tak tahu apa daya tarikmu. Jujur, kau memang berbeda. Dingin tapi menghangatkan. Apa sepertinya aku yang meriang? Hah sudahlah! Matamu masih terpaku pada buku itu. Dapatkah kau membaca hatiku?
“Kalo ada yang mau membakar kapal bersamamu bagaimana?”. Kau mengeryitkan kening. “Maukah kau membakar kapal yang lebih besar bersamaku?”. Aku ragu menatapmu. Aku takut tatapanmu kali ini lebih tajam dari sembilu.
Mungkin kau akan bertanya mengapa bisa? Jangan tanyakan itu padaku. Hanya Tuhan dan doa ibuku yang tahu. Aku masih menanti jawabanmu. Berharap kau akan mengerti semua ini.
“Kita baru kenal tiga minggu, kan?”. Aku tak mau menyimpulkan reaksimu. Tahukah kau, aku merapal doa terbaikku?
“Mas, buku “Menjemput Rezeki dengan Menikah” sebelah mana ya?”. Perempuan berjilbab panjang itu tiba-tiba menghampiriku. Aku berlalu. Kau masih di situ.

Bandung, 7 Syawal 1431 H

Jumat, 26 Agustus 2011

Jus Kepantasan


Bismillah..

Mungkin judulnya agak aneh. Ini menandakan bahwa saya masihlah memiliki kesulitan dalam membuat judul sebuah tulisan (curcol ceritanye..). Okey, ceritanya bermula saat bapak saya membawa sekantung jambu biji. Jambu ini adalah sisa dagangan bapak yang tak laku terjual. Seperti itulah resikonya jadi pedagang. Kalo dagang makanan ya dimakan sendiri. Coba kalo dagang keset, ndak mungkin di makan juga kan?(heu..emang debus).

Bapak menyuruh saya untuk membuat jus jambu. Lumayan bisa buat salah satu minuman buka puasa. Niatnya sih buat konsumsi keluarga aja. Tapi di tengah proses pembuatan jus, saya mikir kenapa ndak dibagiin ke mushola juga ya?! Disantap anak-anak pasti rame dan seger. Setelah diblender dan dibikin es puter. Pasti bikin ngiler.

Akhirnya sore itu saja berjibaku di dapur. Jambu-jambu itu saya bersihkan kedua kutubnya. Kemudian direndam di air matang beberapa waktu sebelum dipotong-potong. Potongan dadu hijau merah muda itu masuk mulut blender. Tambah beberapa cc air dan satu dua sendok gula. Tombol on saya tekan dan mulailah proses peleburan itu. Tunggu punya tunggu, daging buah dan biji itu jadi satu. Terbentuklah konsistensi merah muda yang segar bila direguk. Slurrppp...(woi..shaum..woi!!)

Belum sampai di situ saja, pekerjaan belumlah usai. Saya masih harus menyaring biji-biji dari konsistensi jus tersebut. Kalo ndak, bisa usus buntu nanti. Proses penyaringan ini nih yang makan waktu lama. Saya harus ngubek-ngubek saringan biar tuh biji pada bubar. Kalau untuk satu-dua jambu sih it’s okey. Tapi ini jambu sekilo boy! Yah..nasib..tapi bukankah untuk suatu kenikmatan butuh perjuangan?! Apalagi tujuannya buat amal. InsyaAllah diganjar Allah, fren!

Akhirnya, cairan pink satu baskom itu siap dihidangkan. Namun ada yang mengganjal di hati. Apa rasanya udah enak? Mana belum beli gelas plastik lagi? Nanti gimana bagiinnya? Berbagai kendala berkecamuk di benak deh pokonya..

Kemudian mamah punya usul, gimana kalo dibagiinya besok aja. Biar nanti pas buka puasa dijajal dulu rasanya. Enak apa ndak. Kalo belum enak masih ada kesempatan buat bikin larutan gula sebagai campuran. Biar rasanya pol. Lagian kan belum beli gelas plastik juga. Sebenernya saya kurang sependapat sama usul mamah. “Mah, kan saya niat amalnya sekarang. Apa bisa ditunda besok? Keburu ndak ikhlas ntar.”gerutu saya dalam hati. (Maaf ya mah..).

Keputusan final, akhirnya saya ikutin saran mamah. Takut kualat kalo ndak dengerin nasihat orang tua (hehe..). Tibalah waktu buka puasa. Saatnya menjajal jus bikinan saya. Slurrrrppp...bapak ambil giliran pertama. Saya langsung lihat ekspresi wajahnya.

“Emm..kayak kurang apa gitu!”.
Kini giiran saya menyicipi cairan pink itu. “Emm..iyah kurang manis. Kurang gula.”.
“Tuh kan, untung aja belum dibagiin ke mushola. Besok ngerebus gula dulu biar manis. ” spontan mamah menimpali.

Keesokkan harinya, satu baskom jus hasil revisi itu ludes disantap para ifthar’ers di mushola. Senang melihat mereka tersenyum ceria kala menyantapnya. Maklum lapar boy! 

Satu hal yang saya pelajari dari peristiwa ini, adalah sebuah kepantasan. Jus itu harus dipantaskan agar lebih enak dan indah dipandang. Dan ada sebuah masa dimana saat kepantasan itu sudah ada maka akan ada kebahagiaan disana.

Coba saja kalau saya tetep keukeuh membagikan jus saat itu, mungkin tak akan enak. Malah jadi cibiran orang. Niatnya mau beramal malah membuat orang lain menggunjing kita. Malah jadi dosa, ya ndak?! Maka saya belajar bahwa ada sebuah proses pemantasan untuk sebuah cita-cita atau impian. Istilah kerennya “Akan indah pada waktunya”.

Begitu halnya dengan mencapaian impian kita. Ada proses yang mesti dijalani sebagai bentuk pemantasan diri kita. Allah pun akan memberikan apa yang kita inginkan jika kita memang sudah pantas mendapatkannya.

Apakah kepantasan itu identik dengan menunggu atau pekerjaan pasif? Bukan sahabat, kepantasan atau memantaskan diri itu harus dikejar alias diusahakan. Misalnya seorang mahasiswa ingin lulus kuliah, ia berusaha memantaskan diri dengan kerja keras nyari bahan studi, rajin bimbingan ke dosen, rajin ke perpus, rajin sholat malam dan usaha lainnya. Maka ganjarannya ia pantas lulus. Akan ada sebuah harga untuk setiap yang kita inginkan.

Atau misalnnya ingin naik gaji. Tentu ia mesti memantaskan diri dengan meningkatkan produktivitas kerja, memperbaiki hubungan dengan atasan, bawahan dan klien, rajin sholat dhuha, rajin tahajud dan rajin sedekah. Insyaallah akan naik gaji.

Yang pengen dapet kerja ato lancar usahanya. Bisa dijajal juga ramuan sholat sunnah, dhuha, dan tahajudnya. Jangan lupa sebutin hajatnya 7 kali biar Allah timbulkan keyakinan bahwa impian kita akan diijabah-Nya. Owya, dari pengalaman yang udah-udah, perbanyak sedekah. Ubah mindset, dapet kerja baru sedekah jadi sedekah dulu baru Allah akan mudahkan rezeki kita. InsyaAllah..

Yang ingin dapet jodoh, memantaskan diri dengan mempersiapkan ilmu rumah tangga, memperluas pergaulan, perbaiki sholat wajibnya, dirikan sholat sunnahnya, bangun sholat malamnya, rajin istikharahnya. Bagaimanapun sholat adalah sebuah komitmen. Nah, kalo udah komitmen sama Allah insyaallah dia bisa komitmen sama pasangannya. Dan jangan lupa, obatilah penyakitmu dengan sedekah. Jomblo juga penyakit kan?! Penyakit kesepian, obatilah dengan sedekah. Hehe..

Dan satu hal yang ndak kalah penting adalah doa orang tua. Ini must be,kudu, harus jadi perhatian kita. Karena bagaimanapun doa orang tua lebih melesat dan lebih mustajab di mata Allah. Bangun hubungan baik dengan orang tua. Minta doa atas hajat kita disebutkan di tiap sholat mereka. Insya Allah, Allah akan melihat begitu gigihnya kita untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan.

Terlepas dari itu semua, tetaplah bersandar pada Kekuasaan-Nya. Kita punya rencana, Allah juga. Dan Dialah sebaik-baik sutradara. Jadikan Allah sebagai sandaran atas semua usaha dan doa yang kita perjuangkan. Selamat berjuang sahabat, selamat memantaskan diri..:)

Ya Allah, sanggupkan hamba untuk memantaskan diri di hadapan-Mu..Amin Ya Mujibbasailin..


Bandung, 18 Ramadhan 1432 H