Kamis, 03 November 2011

Bahasa Indonesia di Bulan Bahasa

Bulan Oktober dikenal sebagai bulan bahasa. Momen ini dirayakan sebagai tugu penghormatan dan kebanggaan atas Bahasa Indonesia. Adalah Bahasa Indonesia yang sejak tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai bahasa persatuan. Masih kita ingat bahwa terdapat tiga poin yang disepakati dalam kumpulan pemuda terpelajar se-Indonesia saat itu. Yakni bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bisa kita bayangkan situasi saat itu, perwakilan pemuda negeri dari berbagai suku seperti Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Madura, dan lain-lain bermusyawarah untuk menyepakati salah satu hal vital bagi sebuah bangsa. Jauh sebelum panji kemerdekaan berkibar, para pemuda bervisi ke depan itu sudah merancang bahasa yang kelak akan digunakan sebagai tonggak komunikasi negara. Dengan latar belakang budaya yang berbeda, para pemuda yang dominan lahir dari keluarga bangsawan itu berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Karena saat itu, baik dalam pendidikan dan pergaulan mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Sedangkan bahasa suku hanya digunakan untuk membangun keakraban di keluarga atau dengan masyarakat awam. Setelah peristiwa Sumpah Pemuda, pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954 ditetapkanlah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pemilihan dan penetapan ini tak luput dari adu mulut dan bersitegang. Karena saat itu hingga kini pun bahasa melayu adalah bahasa pergaulan ketiga yang kerap digunakan setelah bahasa Jawa dan Sunda. Dapat kita lihat jumlah penduduk Jawa yang merajai sebagian besar penduduk Indonesia. Namun dengan hati legowo, kemufakatan ini dapat dicapai. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional ini merupakan usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.” Pemilihan bahasa Melayu ini sangat diperhitungkan secara matang. Salah satu pertimbangannya adalah ia sudah digunakan sejak masa kerajaan Hindu-budha masih berkuasa. Dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit (638 M) di Palembang yang menggunakan bahasa Melayu meski ditulis dalam huruf Pallawa. Bahasa Melayu pun menjadi linguis franca (bahasa pergaulan) saat kafilah dagang dari Gujarat dan Cina singgah di nusantara. Sejak zaman majapahit, ia menjadi bahasa pergaulan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filippina, dan sebagainya) hingga Asia Tenggara. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu khususnya bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.”. Peran bahasa amatlah vital bagi sebuah negara. Ia adalah tiang konektivitas dalam menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara. Memilikinya merupakan pokok utama dalam perkembangan suatu bangsa baik itu di bidang pendidikan, politik, pertahanan dan keamanan. Selepas pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan perkembangan kebangkitan bangsa mulai menggeliat. Bahasa Indonesia dibagi menjadi dua fungsi yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Pada UUD 1945 pasal 36 bab XV disebutkan bahwa bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan bahasa nasional digunakan dalam pergaulan antarsuku sebagai kebanggaan dan identitas nasional. Bahasa ini diaplikasikan agar tercipta satu kepaduan dan konektivitas yang sama. Dapat kita bayangkan jika tak ada bahasa penghubung, percakapan maka suku Bugis dan Jawa takkan mencapai titik temu. Sempat terdengar wacana, bahwa bahasa Indonesia akan diusung dalam pemilihan bahasa ASEAN. Di satu sisi kita patut berbangga. Namun di sisi lain, adakah bahasa persatuan kita ini mampu untuk unggul dari bahasa dari naegara lain? Dibandingkan negara seperti Jepang, Korea, Cina, India yang memiliki keunggulan dengan mampunya mempertahankan bahasa dan hurufnya yang otentik. Sedngkan indonesia lebih memilih untuk menggunakan huruf latin dan seakan mengubur huruf Pallawa yang notabene salah satu kekayaan bangsa yang patut dibanggakan. Penggunaan bahasa gaul atau lebih yang kini populer dengan bahasa Alay serta sikap antipati generasi muda kini terhadap karya sastra Indonesia perlu menjadi renungan. Padahal disanalah dapat kita akrabi dan jelajahi kekayaan literasi Indonesia. Mejamurnya novel remaja seperti chicklit, teenlit seakan menggeser kesohoran Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Buya Hamka, Idrus, Abdul Moeis, dan penulis seangkatannya. Pun ketidaktegasan pemerintah memberlakukan SBI (Sekolah Berstandar Internasional) menyampaikan bahasa asing sebagai pengantar pendidikan. Bukankah sudah jelas dalam UUD 1945 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengantar dalam pendidikan? Bila dibiarkan bergulir seperti ini, maka merupakan sebuah keniscayaan jika kecintaan bangsa terhadap bahasa Indonesia kian terkikis. Sikap positif itulah yang harus dibangun oleh kita, generasi muda Indonesia. Karena masa depan Bahasa Indonesia sebagai penentu eksistensi bangsa ada di tangan kita. Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa, “Penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.” Jika bangsa asing pun begitu memuja kebudayaan kita, mengapa kita tidak? Selamat merayakan bulan bahasa! Galamedia, 21 Oktober 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

Kisah-Kisah Sufisme Penyegar Jiwa

Buku : Melepas Dahaga dengan Cawan Tua : Hikmah-hikmah Islami Klasik untuk Generasi Modern
Penulis : Topik Mulyana
Penerbit : Grafindo Media Pratama, Juli 2011
Halaman : 224 halaman
ISBN : 978-602-84-5855-4


Melepas Dahaga dengan Cawan Tua : Hikmah-hikmah Islami Klasik untuk Generasi Modern hadir ditengah keringnya jiwa manusia postmodernisme kini. Postmodernisme yang kaya akan unsur materialisme, hedonisme, dan kapitalisme seakan tersegarkan oleh kumpulan prosa karya Topik Mulyana ini. Penulis menawarkan 10 prosa sufisme yang mencerahkan dan sarat akan nilai-nilai agama.

Dalam kisah “Tiga Pengendara Motor” kita diingatkan akan sebuah hadist Rasulullah. Pernah suatu masa ada 3 orang lelaki yang terperangkap dalam gua batu. Mereka berusaha mendorong batu penghadangnya namun tak mampu jua. Jalan terakhir, mereka memohon kepada Tuhan agar berkenan menyelamatkan. Mereka berupaya untuk “melobi” Tuhan dengan mengutarakan satu amalan pamungkas masing-masing. Antara lain bakti pada orang tua, tetap memberi di kala sempit, dan menghindari zina meski berkesempatan melakukannya.

Namun dalam kisah ini penulis mengadaptasi ke cerita modern. Setingnya berubah menjadi basement sebuah hotel yang diguncang gempa. Tiga orang pengendara motor terperangkap di antara reruntuhan bangunan. Dalam keadaan terdesak, akhirnya pun berniat “menego” Tuhan. Lelaki pertama mengaku taat menggunakan helm dan tak pernah melanggar rambu jalanan. Lelaki kedua yang meski dalam keadaan sibuk luar biasa ia tak pernah mengendarai motor di trotoar, dan lelaki terakhir sukses menahan amarah saat seorang menyerempetnya di jalan. Kisah ini mengajarkan kita hanya untuk pamrih pada Tuhan saja. Toh, tanpa kita minta pun Tuhan akan membalas kebaikan kita.

Kisah menarik lain digambarkan dalam “Guratan”. Sudah menjadi hukum alam bahwa setiap amal kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik pula. Dikisahkan seorang bernama Bun, seorang editor penerbitan buku islami tak sengaja membuat guratan pada mobil yang terparkir. Selidik punya selidik mobil tersebut ternyata milik seorang profesor. Karena saat itu Bun sedang dikejar waktu, maka ia menyelipkan nama dan nomor kontaknya pada wipper mobil. Tindakan tersebut ia lakukan sebagai tanggung jawab atas perbuatannya. Sesuatu yang mungkin jarang kita jumpai saat ini (Hal. 65).

Beberapa hari kemudian ia dihubungi sang pemilik mobil. Dengan niat purna ia bersedia bertanggung jawab atas kelalaiannya. Akhirnya Bun didapuk menjadi sopir pribadi sang profesor selama satu minggu. Berkelindanlah perjalanan Bun dan sang profesor dari mulai mengantarnya seminar hingga berkencan. Sempat professor itu menawarinya wanita sebagai “teman” untuk kesepiannya. Namun ia menolak (Hal. 76). Di akhir cerita, penulis memberi daya kejut yang indah untuk tokohnya itu.

Dalam “The Photograph”, mengingatkan bahwa setiap gerik-gerak kita selalu ada yang mengawasi. Tokohnya pun mencitrakan hasrat manusia terhadap dunia tak kunjung surut dan selalu tak merasa cukup. Seorang bernama Amar gandrung dengan yang namanya fotografi. Mulai dari kamera handphone hingga kamera digital dikoleksinya untuk memenuhi hasrat memotret yang kian menggelegak. Sampai pada akhirya ia berhasil menabung untuk membeli kamera DSLR yang lebih canggih. Melalui kenalan dan koneksinya, ia bergabung dengan grup mencinta potret memotret itu. Berkenalanlah ia dengan Adelita. (Hal.181)

Adelita seorang yang cantik dan menawan. Ia sudah mengenal fotografi dari sekolah dasar. Kekaguman Amar memuncak saat ia bertandang ke rumahnya. Aneka hasil jepretan menempel di ruangan dengan artistik yang luar biasa. Belum lagi koleksi kamera canggih dan alat cetak modern pun ia miliki. Amar semakin tercengang saat Adelita tak hanya memamerkan koleksinya. Lebih dari itu, Amar mulai tergoda. Kalau saja tak ada pesan singkat dari istrinya mungkin sudah terjadi hal yang nikmat namun maksiat. (Hal. 189)

“Kotak Infak” berkisah tentang dua buah rencana Tuhan yang saling menjalin. Sebuah mesjid di sebuah desa sedang mengadakan pembenahan. Rekonstruksi tersebut memakan biaya yang lumayan wah. Namun dengan kesadaran penuh para panitia tak mau menjadi peminta sumbangan di jalanan. Meski awalnya mereka sempat tergiur untuk melakukannya, namun sekuat tenaga mereka kembali meluruskan niat. Menurut mereka, niat yang baik seharusnya tak terkotori dengan proses yang kurang baik. (Hal. 101)

Di lain tempat, seorang bernama Gugun Gunira, seorang penulis autobiografi khusus pejabat daerah hendak menghibahkan motor barunya. Motor besar itu adalah pemberian seorang pejabat daerah yang telah ia buatkan buku autobiografi. Kabar terakhir menyebutkan bahwa sang pejabat terlilit kasus korupsi. Karena ia khawatir ada harta haram dalam motor tersebut, Gugun nekad menyedekahkan motornya saja (Hal.115). Di
akhir cerita kedua rencana itu menjadi sinergi kebaikan yang menguatkan.

Tidak seperti cerita modern biasa yang hanya memberi arti di permukaan, “Melepas Dahaga dengan Cawan Tua” berhasil membuat jejak nan dalam bagi pembacanya. Membaca kumpulan cerita sufisme ini layak menjadi momen muhasabah diri di tengah geliat postmodernisme masa kini.

Galamedia, 13 Oktober 2011

Rabu, 05 Oktober 2011

Yellow

Rembulan tlah purna bersinar di mega-mega kelabu.aku masih bersandar di pilar-pilar bunga menghitung gugurnya daun bohinian yang kuning menua.rasakan setiap detak arloji tua menghela setiap nafas-nafas ringkih menanti sang pejagal tiba.

kulelehkan dosa-dosa pada sela-sela bulir airamata.yang entah kapan habisnya.borokku mengkristal serupa koral sukar terkikiskan.Hanya Dia yang bisa sembuhkan luka-luka kusta.bernanah.
Laiknya daun kuning menua.Hanya pada-Nya segala muara..

Flamboyan


Aku jatuh cinta pada cahaya matamu.yang beningnya
bagai pualam tempat ku berkaca.merekah-rekah dalam
taman bunga hatiku


namun saat angin terasa dingin di batin.kutatap
arloji berkarat yang detiknya memburu jantungku.kamu berlalu
seiring gugurnya bunga dalam tubuh flamboyan itu..

Alarm Pengingat Keberadaan Tuhan

Judul Buku : Kang Soleh Naik Becak Menuju Surga
Penulis : Rudi Setiawan
Penerbit : Elex Media Komputindo, 2011
Halaman : 114 Halaman


Menjamurnya buku-buku motivasi islam akhir-akhir ini menandakan kebutuhan pengisian iman kita yang kerontang. Aktivitas yang menumpuk, masalah yang menggunung serta keterbatasan waktu untuk mendalami ilmu agama, membuat jurang pemisah antara kita dengan Sang Pencipta. Kita seolah sudah dilalaikan dengan dunia hingga khilaf kepada Pemilik dunia sesungguhnya. Buku ini bagai alarm yang mengingatkan kita untuk menuju kedamaian dan ketenangan tiada tara. Ketenangan abadi yang diperoleh dengan mengingat-Nya.

Kang Soleh Naik Becak Menuju Surga berkisah tentang optimisme dan kesyukuran dalam menjalani hidup (hal. 6). Seorang bernama Soleh berprofesi sebagai penarik becak. Ketika tiba meninggalnya, ia ditemui malaikat untuk dihisab. Terjadilah proses hitung-menghitung amal. Tenyata keputusannya ia beruntung dapat masuk surga. Keanehan ini dirasakan oleh seorang ulama kesohor, pemimpin yang jujur, dan seorang dermawan kaya yang meninggal bersamaan. Mereka harus menerima kenyataan masuk neraka. Maka lahirlah pertanyaan mengapa orang miskin seperti Soleh lolos masuk jannah Allah sedang mereka yang notabene “kaya amal” malah masuk neraka?

Keagungan Tuhan atas segala ciptaannya, penulis lagukan dalam kisah “Rembulan di Langit Doha”. Merupakan diari perjalanan penulis di sebuah kota bernama Doha. Suatu malam ia melihat rembulan yang begitu bulat dan terang menggantung di langit. Inilah yang membawanya pada rasa takjub Nabi Ibrahim yang menyangka bahwa bulan adalah Tuhan. Berbagai fenomena alam menunjukan eksistensi Tuhan, namun masih saja manusia tak mau beriman (hal. 36).

Sebuah kisah satir menggelitik ditampilkan penulis dalam “Dialog Imajiner Mbah Surip dan Mbah Marijan”. Kedua sepuh yang terkenal dengan lagu nyentrik dan kuncen gunung Merapi ini didapuk menjadi tokoh untuk memberi peringatan kepada manusia. Keduanya dikisahkan sedang menyicipi keindahan surga. Kemudian terlibat obrolan yang intinya merasa manusia begitu pongah. Kebanyakan manusia dengan mudahnya men-judge seseorang syirik dan merasa dirinya paling baik (Hal. 31). Seperti yang dilakukan Alm. Mbah Marijan terhadap gunung Merapi dianggap sebagai membangkangan terhadap Keesaan Tuhan. Padahal kesetiaannya mengemban amanah kuncen untuk menjaga kelestarian alam merupakan amal yang patut dibanggakan? Dalam istilah agamanya, habluminal’alamin (hubungan baik dengan alam) justru melengkapi akan habluminallah dan habluminannas.

Selain itu kisah pencarian cinta sejati dikupas dalam “Energi Cinta Jalaludin Rumi”. Tokoh dalam kisah ini gelisah karena belumlah menemukan cinta yang ia damba. Ia selami samudra ilmu hingga akhirnya terdampar dalam percakapan dengan seorang Jalaludin Rumi. Dari beberapa guru yang ia singgahi, Rumi-lah yang berhasil memberi penawar dahaga pencarian cintanya. Hingga pada akhirnya tokoh berujar, “Aku menangis membayangkan semua kesia-siaan yang kulakukan. Ya Allah, anugrahilah aku setetes Cinta. Agar aku bisa mencintai-Mu dengan Cinta yang sesungguhnya” (hal. 51).

Keindahan waktu subuh dipaparkan dalam “Hulu Subuh di Terminal Hat Yai”. Penulis yang tengah melancong ke daerah Thailand ini begitu syahdu mehamparkan fenomena subuh yang agung. Waktu subuh adalah salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Karena malaikat siap-siap naik ke langit setelah malamnya ia turun ke bumi menyapa hamba-hamba-Nya yang mendirikan sholat (hal.89-90).

Buku ini memuat 12 kisah inspiratif yang penulis buat dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Kisah yang disajikan pun tak ubahnya cerita pendek, bahkan ada beberapa cerpen didalamnya. Seperti kisah “Subali dan Sarmi” yang menceritakan Subali seorang penjahat kelas kakap dan Sarmi, pelacur yang telah malang melintang di dunia gelap. Kedua tokoh tersebut ibarat replika manusia yang telah lama tercebur dalam lumpur dosa. Namun hati tetap tak bisa mungkir dari kegelisahan jiwa. Akhirnya sebuah titik terang mereka rengkuh dengan susah payah. Sebuah jalan taubat kepada Tuhan ditempuh untuk mencapai kebahagiaan hakiki.

Buku ini sejatinya adalah kumpulan cerita inspiratif. Cerita dengan genre motivasi islami. Namun, sayangnya ada beberapa cerita yang sepertinya keluar dari jalur. Mungkin maksud penulis adalah menuangkan kisah kesehariannya. Namun sayangnya malah melantur dan keluar dari rel tema. Seperti pada cerita “Pengembaraan Jaka Umboro”. Memang dalam cerita dikisahkan bahwa Jaka Umboro bermaksud untuk memberantas kebatilan. Namun isinya lebih banyak tentang pertikaian dan diwarnai aksi silat. Penulis seakan melempar kita pada suasana konflik novel silat “Wiro Sableng” atau “Si Buta dari Gua Hantu”.

Atau pada kisah “Seorang Arab Badui dan Keledai”. Cerita yang utarakan dibiarkan menggantung atau entah penulis sengaja membuatnya seperti itu. Lagi-lagi label motivasi menjadi bias. Ketidaksenadaan ini membuat cerita motivasi yang diusung dari awal buyar.Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, kumpulan kisah inspirasi islami ini tetap memiliki energi untuk mengingatkan kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Ilahi.

Galamedia, September 2011

Membakar Kapal Bersamamu



“Surabaya!”
“Jadi?”. Aku mencari keyakinan itu di matamu.
“Iya, aku akan menjemputnya disana.”
Kau masih mematung dengan buku ber-cover marun di tanganmu. Pengunjung sedang tak banyak. Makanya aku membersamaimu. Aku pandang lekat wajahmu. Wanita yang kukenal baru beberapa minggu. Namun rasa ini, sulit kudefinisikan.
“Mas, ada buku tafsir Al-Misbah ga?”
Aku berlalu darimu saat seorang ibu berjilbab kuning itu bertanya. Beberapa jenak aku meninggalkanmu mematung disana. Masih dengan buku marun-mu. Beberapa pengunjung mengerumun pada rak yang sama.
Tiga minggu lalu di deretan rak itu aku mengenalmu. Gadis dengan jilbab urakan. Beralasan mengisi waktu selama panggilan kerja setiap hari kau ke toko buku ini. Bodohnya tak ada satu pun buku yang kau beli. Kau anggap toko ini bagai perpustakaan saja. Tiap hari melahap buku yang berbeda. Kau terlihat bahagia karenanya. Aku pun bahagia bisa melihatmu. Hingga aku mengenalmu, kini.
“Seminggu yang lalu email-nya kukirim. Baru kemarin dibalas.” Kau menyandarkan punggungmu di rak buku. Kulakukan hal serupa.
“Kenapa ngga Bandung aja sih?”
“Aku mau bakar kapal!”. Kau seolah berkata pada buku. Lalu tatapanmu terhunus tepat di ulu hatiku. “Aku mau mandiri. Jauh dari orang tua. Sepertimu!”
Aku tak tahu apa daya tarikmu. Jujur, kau memang berbeda. Dingin tapi menghangatkan. Apa sepertinya aku yang meriang? Hah sudahlah! Matamu masih terpaku pada buku itu. Dapatkah kau membaca hatiku?
“Kalo ada yang mau membakar kapal bersamamu bagaimana?”. Kau mengeryitkan kening. “Maukah kau membakar kapal yang lebih besar bersamaku?”. Aku ragu menatapmu. Aku takut tatapanmu kali ini lebih tajam dari sembilu.
Mungkin kau akan bertanya mengapa bisa? Jangan tanyakan itu padaku. Hanya Tuhan dan doa ibuku yang tahu. Aku masih menanti jawabanmu. Berharap kau akan mengerti semua ini.
“Kita baru kenal tiga minggu, kan?”. Aku tak mau menyimpulkan reaksimu. Tahukah kau, aku merapal doa terbaikku?
“Mas, buku “Menjemput Rezeki dengan Menikah” sebelah mana ya?”. Perempuan berjilbab panjang itu tiba-tiba menghampiriku. Aku berlalu. Kau masih di situ.

Bandung, 7 Syawal 1431 H

Jumat, 26 Agustus 2011

Jus Kepantasan


Bismillah..

Mungkin judulnya agak aneh. Ini menandakan bahwa saya masihlah memiliki kesulitan dalam membuat judul sebuah tulisan (curcol ceritanye..). Okey, ceritanya bermula saat bapak saya membawa sekantung jambu biji. Jambu ini adalah sisa dagangan bapak yang tak laku terjual. Seperti itulah resikonya jadi pedagang. Kalo dagang makanan ya dimakan sendiri. Coba kalo dagang keset, ndak mungkin di makan juga kan?(heu..emang debus).

Bapak menyuruh saya untuk membuat jus jambu. Lumayan bisa buat salah satu minuman buka puasa. Niatnya sih buat konsumsi keluarga aja. Tapi di tengah proses pembuatan jus, saya mikir kenapa ndak dibagiin ke mushola juga ya?! Disantap anak-anak pasti rame dan seger. Setelah diblender dan dibikin es puter. Pasti bikin ngiler.

Akhirnya sore itu saja berjibaku di dapur. Jambu-jambu itu saya bersihkan kedua kutubnya. Kemudian direndam di air matang beberapa waktu sebelum dipotong-potong. Potongan dadu hijau merah muda itu masuk mulut blender. Tambah beberapa cc air dan satu dua sendok gula. Tombol on saya tekan dan mulailah proses peleburan itu. Tunggu punya tunggu, daging buah dan biji itu jadi satu. Terbentuklah konsistensi merah muda yang segar bila direguk. Slurrppp...(woi..shaum..woi!!)

Belum sampai di situ saja, pekerjaan belumlah usai. Saya masih harus menyaring biji-biji dari konsistensi jus tersebut. Kalo ndak, bisa usus buntu nanti. Proses penyaringan ini nih yang makan waktu lama. Saya harus ngubek-ngubek saringan biar tuh biji pada bubar. Kalau untuk satu-dua jambu sih it’s okey. Tapi ini jambu sekilo boy! Yah..nasib..tapi bukankah untuk suatu kenikmatan butuh perjuangan?! Apalagi tujuannya buat amal. InsyaAllah diganjar Allah, fren!

Akhirnya, cairan pink satu baskom itu siap dihidangkan. Namun ada yang mengganjal di hati. Apa rasanya udah enak? Mana belum beli gelas plastik lagi? Nanti gimana bagiinnya? Berbagai kendala berkecamuk di benak deh pokonya..

Kemudian mamah punya usul, gimana kalo dibagiinya besok aja. Biar nanti pas buka puasa dijajal dulu rasanya. Enak apa ndak. Kalo belum enak masih ada kesempatan buat bikin larutan gula sebagai campuran. Biar rasanya pol. Lagian kan belum beli gelas plastik juga. Sebenernya saya kurang sependapat sama usul mamah. “Mah, kan saya niat amalnya sekarang. Apa bisa ditunda besok? Keburu ndak ikhlas ntar.”gerutu saya dalam hati. (Maaf ya mah..).

Keputusan final, akhirnya saya ikutin saran mamah. Takut kualat kalo ndak dengerin nasihat orang tua (hehe..). Tibalah waktu buka puasa. Saatnya menjajal jus bikinan saya. Slurrrrppp...bapak ambil giliran pertama. Saya langsung lihat ekspresi wajahnya.

“Emm..kayak kurang apa gitu!”.
Kini giiran saya menyicipi cairan pink itu. “Emm..iyah kurang manis. Kurang gula.”.
“Tuh kan, untung aja belum dibagiin ke mushola. Besok ngerebus gula dulu biar manis. ” spontan mamah menimpali.

Keesokkan harinya, satu baskom jus hasil revisi itu ludes disantap para ifthar’ers di mushola. Senang melihat mereka tersenyum ceria kala menyantapnya. Maklum lapar boy! 

Satu hal yang saya pelajari dari peristiwa ini, adalah sebuah kepantasan. Jus itu harus dipantaskan agar lebih enak dan indah dipandang. Dan ada sebuah masa dimana saat kepantasan itu sudah ada maka akan ada kebahagiaan disana.

Coba saja kalau saya tetep keukeuh membagikan jus saat itu, mungkin tak akan enak. Malah jadi cibiran orang. Niatnya mau beramal malah membuat orang lain menggunjing kita. Malah jadi dosa, ya ndak?! Maka saya belajar bahwa ada sebuah proses pemantasan untuk sebuah cita-cita atau impian. Istilah kerennya “Akan indah pada waktunya”.

Begitu halnya dengan mencapaian impian kita. Ada proses yang mesti dijalani sebagai bentuk pemantasan diri kita. Allah pun akan memberikan apa yang kita inginkan jika kita memang sudah pantas mendapatkannya.

Apakah kepantasan itu identik dengan menunggu atau pekerjaan pasif? Bukan sahabat, kepantasan atau memantaskan diri itu harus dikejar alias diusahakan. Misalnya seorang mahasiswa ingin lulus kuliah, ia berusaha memantaskan diri dengan kerja keras nyari bahan studi, rajin bimbingan ke dosen, rajin ke perpus, rajin sholat malam dan usaha lainnya. Maka ganjarannya ia pantas lulus. Akan ada sebuah harga untuk setiap yang kita inginkan.

Atau misalnnya ingin naik gaji. Tentu ia mesti memantaskan diri dengan meningkatkan produktivitas kerja, memperbaiki hubungan dengan atasan, bawahan dan klien, rajin sholat dhuha, rajin tahajud dan rajin sedekah. Insyaallah akan naik gaji.

Yang pengen dapet kerja ato lancar usahanya. Bisa dijajal juga ramuan sholat sunnah, dhuha, dan tahajudnya. Jangan lupa sebutin hajatnya 7 kali biar Allah timbulkan keyakinan bahwa impian kita akan diijabah-Nya. Owya, dari pengalaman yang udah-udah, perbanyak sedekah. Ubah mindset, dapet kerja baru sedekah jadi sedekah dulu baru Allah akan mudahkan rezeki kita. InsyaAllah..

Yang ingin dapet jodoh, memantaskan diri dengan mempersiapkan ilmu rumah tangga, memperluas pergaulan, perbaiki sholat wajibnya, dirikan sholat sunnahnya, bangun sholat malamnya, rajin istikharahnya. Bagaimanapun sholat adalah sebuah komitmen. Nah, kalo udah komitmen sama Allah insyaallah dia bisa komitmen sama pasangannya. Dan jangan lupa, obatilah penyakitmu dengan sedekah. Jomblo juga penyakit kan?! Penyakit kesepian, obatilah dengan sedekah. Hehe..

Dan satu hal yang ndak kalah penting adalah doa orang tua. Ini must be,kudu, harus jadi perhatian kita. Karena bagaimanapun doa orang tua lebih melesat dan lebih mustajab di mata Allah. Bangun hubungan baik dengan orang tua. Minta doa atas hajat kita disebutkan di tiap sholat mereka. Insya Allah, Allah akan melihat begitu gigihnya kita untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan.

Terlepas dari itu semua, tetaplah bersandar pada Kekuasaan-Nya. Kita punya rencana, Allah juga. Dan Dialah sebaik-baik sutradara. Jadikan Allah sebagai sandaran atas semua usaha dan doa yang kita perjuangkan. Selamat berjuang sahabat, selamat memantaskan diri..:)

Ya Allah, sanggupkan hamba untuk memantaskan diri di hadapan-Mu..Amin Ya Mujibbasailin..


Bandung, 18 Ramadhan 1432 H

Pertemuan Sunyi


: Kekasih



I

Kau masih di situ

memagut rindu. memahat waktu

menantiku yang selalu berlalu



Kau yang setia mengeja kidung masa

melukis indah pertemuan sunyi kita

purna sudah kau hidangkan sajian iman

atas nama cinta

aku, masihlah alpa



kini aku mematut

berlulut, memagut asa

kehadiranmu dalam kelamnya

jiwa



kini aku mengemis cinta

memunguti serpih rindu yang senantiasa

melumuri pertemuan sunyi kita



II

Ku menguar rindu (lagi)

terjaga dalam hening

berteman angin dingin



menemanimu dalam kegelapan

namun tak dengan hatiku

: terang

karna kau datang dari

singgasana kebesaran kenan membelaiku

dalam rinai damai



cintamu seperti apa kekasih?

setiamu layaknya apa kekasih?

tak ada yang menandingi

tiada yang setara, serupa



merindui pagi lagi

saat kuucap kata cinta

tiada yang serupa,kaulah yang maha

dirimu segalanya



kita menanti cumbu embun pada pucuk dedaun

belai mentari pada geliat pagi

kerinduan dimulai (lagi)

hari ini..



cirebon,170717

Untukmu nan Istimewa


Bismillah..

Namanya Rainer. Seperti hujan, ia adalah sebuah berkah untuk keluarga kecilnya. Usianya baru menginjak tahun kedua belas. Suatu siang ia datang ke tempat terapi. Usianya yang menginjak remaja kontras dengan keadaanya saat ini. Ia dibopong sang ayah. Kaki mungil dengan otot betis yang nyaris nihil. Tiada bisa berjalan bahkan berdiri. Bahkan untuk duduk tegak pun perlu dada sang ayah untuk menyangga punggung kurusnya.

Siang itu pasien tengah penuh. Tanpa memesan tempat terlebih dahulu, sang ayah menyodorkan kartu registrasi. Setelah melunasi biaya, ia kembali duduk. Menunggu lagi. Tak berapa lama, namanya dipanggil. Tergopoh-gopoh sang ayah membopongnya menuju kamar terapi. Beberapa jam berselang lengkingan dari bibir mungilnya memecah keheningan kamar. Jerit pilu nan menyayat. Mengundang iba para pendengarnya.

Cerebral palsy atau biasa dikenal dengan kelumpuhan otak penyakit diderita Rainer. Hujan itu takbisa bermain sebagai anak seusianya. Alih-alih bermain, berdiri, belajar, bicara pun tak mampulah ia. Tatapan kosongnya memandang dunia. Malang, mungkin itu yang biasa kita katakan. Namun bukankah Tuhan, tak pernah sia-sia dalam menciptakan sesuatu? Bahkan seseorang?

***

Namanya Audy. Owner perkebunan teh di Ciwidey ini memiliki kisah nan luar biasa. Terutama perjuangan ibundanya yang mencitakan sulungnya ini tumbuh sebagaimana anak normal. Audy kecil dilahirkan sebagai tuna rungu. Tanpa pendengaran yang otomatis tanpa bisa bicara. Karna tak adalah yang bisa ia dengar hingga apa yang mesti ia utarakan.

Meski kenyataan begitu menyesakkan, namun terus berkubang dengan kekecewaan bukanlah solusi. Akhirnya hari-harinya diisi dengan permainan kata dalam kartu. Setiap hari sang ibu mengenalkan kosakata baru. Perlahan tapi pasti. Sang anak mengenal kata hingga kalimat lewat ingatannya. Kemudian ia mencoba melafalkan lewat lisannya. Hingga ia bisa dan biasa.

Melelahkan memang namun tetes perjuangan itu menghasilkan. Ketabahan sang ibu berhasil menerobos labirin takdir anaknya. Putranya nan istimewa itu tumbuh menjadi sarjana, pengusaha, dan menikahi kekasih tercintanya yang keadaanya lebih baik darinya. Tuhan memang menciptakan yang tak sia-sia adanya.

***

Namanya Hee Ah Lee. Dunia mengenalnya sebagai fourth fingers pianist. Inspirasinya menembus batas kemampuannya. Dilahirkan dengan empat jari dan tubuh sebatas lutut, bukan halangan untuk ia bisa berkarya. Keadaannya diperparah karena down syndrome yang dideritanya. Untuk menghitung angka pun sukarnya bukan main, ia rasa. Hingga untuk menghafal satu lagu, ia membutuhkan waktu satu tahun.

Adalah Woo Kap Sun, sang ibu sekaligus pahlawan dibalik kesuksesan He Ah. Mulanya, ia hanya berencana memberi les piano untuk melatih jari-jari Hee Ah yang lemah dan kaku. Namun ternyata dalam piano, Hee Ah menemukan hidupnya. Jatuh bangun usaha gadis berusia dua puluh empat tahun dan ibunya untuk menguasai alat musik itu. Bisa dibayangkan, setiap hari selama 10 jam, Hee Ah berkutat dengan benda berdawai, legam dan mengilat itu.

Sempat ia down karena menghabiskan waktu dengan hal yang sama sangatlah membosankan. Sempat ia berhenti bermain piano hingga menyulut amarah. Tak jarang pukulan sang ibu bertubi-tubi mendarat di tubuh mungilnya. Sang ibu melakukannya atas nama cinta. Cintanya ingin membuktikan pada dunia yang berwajah rembulan itu ada, dan sama seperti manusia normal lainnya. Putrinya bisa berkarya. Sekali lagi, Tuhan membuktikan bahwa tiadalah hal nan sia-sia yang Dia ciptaanNya.

***

Mari kita bercermin. Mereka manusia biasa serupa dengan kita. Meski dengan keistimewaan yang mereka punya, bukanlah hambatan untuk meraih prestasi. Bagaimana dengan kita? Adakah kita masih memandang keterbatasan kita sebagai penghambat untuk berprestasi? Pilihan kita untuk terus berkutat dengan alasan-alasan tanpa ada tindakan atau menerobos ketidakmampuan untuk menghasilkan karya. Sekali lagi, sebuah tamparan kecil melesatkan sebuah kesadaran. Kesadaran akan kemuliaan Tuhan yang begitu banyak memberi kita potensi. Namun, pilihan kita untuk menyadarinya atau mengabaikannya begitu saja.

Maa khalqta hazaa batila.
Tiada yang Tuhan ciptakan dengan sia-sia…


Purwakarta167, 060611

Stres, Selangkah Menuju Bunuh Diri


Oleh: ADE FARIYANI

DALAM satu surat kabar nasional, saya dapati ada minimal tiga kasus bunuh diri dalam satu hari. Ini jelas menunjukkan bahwa bunuh diri tren sakit jiwa saat ini. Menurut Konferensi Nasional Jiwa (Konas Jiwa), risiko bunuh diri merupakan salah satu diagnosis penyakit jiwa. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya. Ini sama halnya dengan dalam 40 detik terjadi satu kejadian bunuh diri. Mirisnya lagi, data tersebut diambil pada tahun 2003, bagaimana dengan kini?

Para korban tewas mengenaskan usai terjun dari lantai tertinggi sebuah mal, minum racun serangga atau gantung diri. Kita flashback sebentar. Masih ingat 'kan Heryanto, siswa kelas 6 SD yang mencoba gantung diri karena tak mampu membayar uang kerajinan sekolah atau Usep, siswa asal Cianjur yang nekat menghabisi nyawanya karena urung dibelikan televisi. Orang dewasa pun tak kalah banyak kasusnya. Pemicunya karena sakit kronis, patah hati, terlilit utang dan sebagainya.

Sebenarnya ada perasaan malu yang menyelinap, kala melihat bangsa Jepang melakukan ritual harakiri, yakni menikam atau merobek perut sendiri. Tindakannya mungkin terlihat sama, namun motif yang melatarbelakanginya berbeda. Kebanyakan orang Jepang melakukan tindakan bunuh diri untuk kehormatan. Bagi bangsa Negeri Dewa Matahari itu, kehormatan dan nama baik adalah segalanya. Maka jika seseorang melakukan kesalahan yang mengancam kehormatan keluarganya, dengan sukarela ia akan melakukan harakiri tersebut.

WHO pun menyebutkan bahwa dari 5 orang, 3 di antaranya diindikasikan sakit jiwa. Penyakit jiwa yang diidap bisa dari yang paling ringan hingga berat. Ini menunjukkan bahwa kesehatan jiwa (psikologis) tak kalah penting dari kesehatan jasmani (fisik). Hal ini pun dikuatkan dengan munculnya berbagai penyakit fisik yang musababnya adalah penyakit jiwa (stres).

Stres dan stressor

Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada motifnya. Pun pada kasus bunuh diri. Adanya stressor merupakan pelarian para pelaku melakukan tindakan nekat ini. Stressor adalah segala faktor pencetus jadinya stres. Sedangkan stres merupakan keadaan ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu (Taylor, 1997).

Stres berasal dari istilah Latin yaitu stingere yang berarti keras (stricus). Setelah penelaahan dari waktu ke waktu, istilah stres dapat diartikan sebagai kesukaran, kesusahan, kesedihan atau penderitaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang stres adalah individu yang mengalami penderitaan, kesulitan, dan kesusahan yang tidak mampu dilewatinya. Jika kesulitan itu sudah mengancam serta mekanisme koping (kemampuan untuk menyelesaikan masalah) individu tidak efektif, maka bunuh diri salah satu pilihan untuk mengakhiri penderitaan yang ia alami.

Penyebab

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (Q.S. 2: 155)

Ada banyak stressor yang bisa menyebabkan seseorang stres hingga berniat mengakhiri hidupnya. Faktor yang paling sering muncul adalah ekonomi. Hal ini merupakan alasan kuat pada anak merasa malu karena tak bisa membayar uang sekolah, atau tidak memiliki televisi. Atau juga seorang istri yang sudah putus asa dalam impitan ekonomi karena sang suami tak kunjung bekerja. Hingga lilitan utang seorang pengusaha yang mungkin terlihat kaya dan bahagia.

Stressor lain yang hinggap pada remaja masa kini adalah masalah asmara. Putus cinta, tak diterima jadi pacar, pernikahan yang gagal atau tidak disetujui jadi alasan mereka mengakhiri nyawa. Dalam pikiran mereka daripada menderita sakit hati seumur-umur lebih baik mati. Alasan cekcok rumah tangga, pekerjaan, prolematika orangtua, dan masalah intrapersonal (hubungan antarpribadi) yang tidak harmonis pun mengancam timbulnya stres hingga bunuh diri.

Solusi

Tindakan pencegahan lebih efektif daripada pengobatan. Ungkapan ini benar adanya jika dilakukan dengan tepat. Pencegahan yang paling utama dalam stres terutama pada anak adalah peran keluarga. Keluarga merupakan organisasi pertama tempat tumbuh berkembanganya seseorang. Seringkali kasus stres atau bunuh diri ini lahir dari keluarga yang otoriter. Tindakan tersebut akan menekan anak. Hingga bila tak bisa mencapai apa yang ditargetkan, ia akan merasa menderita dan tersiksa. Ditambah lagi tekanan dan ancaman dari orangtua akan membuatnya kian tertekan.

Pada poor parent relationship (miskin hubungan antara orangtua-anak) pun memicu stres. Setiap hari rumah hanya dibumbui sikap acuh tak acuh antara orangtua dan anak. Kondisi ini akan meniadakan rasa saling hormat, rasa sayang, dan penghargaan antar keduanya. Impian setiap orangtua adalah memiliki anak yang berbakti dan menghormati. Tujuan itu takkan terwujud tanpa adanya penghargaan, kehangatan, dan kasih sayang.

Sedangkan stres dan risiko bunuh diri pada orang dewasa dapat diantisipasi dengan berbaik sangka pada kehendak Tuhan. Masalah kehidupan yang membuat hati kita berombak dapat kita anggap sebagai ujian yang mendewasakan. Ujian sebagai tanda kasih sayang Tuhan pada kita. Toh dengan masalah kita akan lebih dekat pada Tuhan. Dengan masalah pun ketergantungan kita pada Tuhan makin kuat.

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat berkeluh kesah lagi kikir, apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salat."

Surat Al-Ma'arij ayat 19-23 di atas menunjukkan pentingnya salat --ibadah-- sebagai obat dari kesusahan dan masalah yang dihadapi. Salat yang berarti doa ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jiwa seseorang. Menurut A. Carel peraih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, doa yang dibiasakan dan sungguh-sungguh dilakukan, pengaruhnya sangat besar terhadap kejiwaan dan keadaan somatik --fisik-- seseorang. Ketentrraman yang ditimbulkan oleh doa itu merupakan pertolongan yang besar dalam pengobatan dan kesehatan seseorang. (Penulis, alumnus Fakultas Keperawatan Unpad, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung, trainer dan terapis hipnoterapi dan praktisi EFT)**


Galamedia, 5 Januari 2011

Semangat Cinta Dewi Sartika dalam Pengasuhan Anak

Oleh: Ade Fariyani

SOSOKNYA mungkin tak setenar R.A. Kartini, seorang wanita dengan ide briliannya. Namun, impian Kartini yang masih sebatas ide itu bisa diwujudkannya. Ya, Dewi Sartika seorang pahlawan Bandung asli menjadi pelopor terbentuknya sekolah untuk kaum wanita. Sosoknya yang rendah hati dan membumi tak membuatnya iri akan ketenaran Kartini. Itulah karakter pahlawan sejati.

Dilahirkan pada tahun 1884 dari keturunan Raden Rangga Somanegara dengan R.A. Rajapermas di Bandung. Nasibnya sebagai anak dari seorang menak membuatnya dapat mengenyam pendidikan di Eerste Klasse School. Di sana ia belajar bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Melihat nasib anak-anak inlander yang tak seberuntung dirinya, hatinya gelisah. Sudah tampak kepekaan sosial dalam diri Dewi semasa kecil. Ia mulai mengajar anak-anak perempuan di sekitar rumahnya. Dari membaca, menulis, berhitung hingga belajar bahasa asing.

Beranjak dewasa kecerdasaan sosialnya kian terasah. Melihat semakin banyaknya minat pembelajar perempuan, ia mencetuskan ide brilian. Ia memiliki impian untuk membuat sebuah sekolah khusus kaum Hawa. Sayangnya, impiannya tersebut terjegal seorang Inspektur Pengajaran Hindia Belanda bernama C. Den Hammer. Den Hammer melihat tindakan Dewi berbahaya dan patut dicurigai.

Tak patah arang, Dewi keukeuh dengan misinya itu. Tuturnya, "Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria. Di samping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh pada moral wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnnya dari sekolah." Langkahnya kian mantap untuk mewujudkan asa, membangun sekolah untuk wanita.

Tahun 1904, ia mendirikan Sakola Istri. Meski sempat tak disetujui Bupati Martanegara, semangatnya tak surut. Dengan uang pribadi, ia meluluskan citanya. Dengan 60 pelajar wanita, ia melancarkan misinya. Mengajari mereka menulis, membaca, berhitung, dan berbicara bahasa asing. Pun keterampilan wanita seperti menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semangat pembelajarnya menular hingga luar daerah. Pada tahun 1910 terbentuk Perkumpulan Kautamaan Istri sebagai cabang sekolah wanita di daerah lain.

Potret pola asuh orangtua masa kini

Kita lihat fenomena sosial dalam lingkup yang lebih kecil, keluarga. Peran orangtua sangat vital terhadap pendidikan anak. Ibu merupakan lembaga pendidikan pertama dan ayah sebagai penunjang pendidikan, kedisiplinan serta sosok panutan.

Potret pengasuhan orangtua masa kini lebih dipercayakan pada baby sitter sebagai pendamping anak-anaknya. Sementara mereka sibuk dengan urusan pekerjaan. Selama satu hari penuh mereka mempercayakan anaknya pada pengasuh yang rata-rata berpendidikan dasar. Tak sedikit, ayah ibu yang berprofesi sebagai pendidik, pengusaha sukses dengan pendidikan yang tinggi, tapi anak mereka dipercayakan pada pengasuh yang mungkin SD pun belum lulus. Lebih miris lagi, sang pengasuh malah "mempercayakan" anak majikannya pada televisi yang notabene bisa membuat anak diam dan betah berjam-jam menontonnya.

Fenomena unik lain, beberapa kali saya memergoki seorang ibu yang lebih asyik bermain dengan ponsel daripada bermain atau sekadar ngobrol dengan anaknya. Hingga di Jakarta seorang ibu meninggalkan anaknya bermain di balkon rumah, hanya untuk pergi ke warnet. Anaknya jatuh dan meninggal. Peristiwa ini menajdi berita utama di media.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah kurang peka dan kurang siapnya ibu dalam mendidik anak. Ketiadaan waktu komunikasi antara orangtua dan anak membuat sang anak mencari katarsis lain. Tak heran jika anak lebih sering bergaul dengan kawan-kawan gengnya, berkerumun di warung internet, menyibukkan diri dengan game online, dan katarsis lain.

Kekuatan cinta

Hal mendasar apa yang membuat Dewi Sartika memiliki impian dan kekuatan untuk menerobos keterpurukan wanita saat itu? Tak lain kekuatan cinta. Cintanya akan pendidikan. Cintanya akan terwujudnya generasi Hawa yang lebih baik. Cintanya melihat perempuan-perempuan yang beradab dan terhormat. Perempuan yang kaya akan pengetahuan, keterampilan, dan berdaya untuk memberikan kontribusi yang terbaik untuk bangsa.

Kekuatan cinta pulalah yang seharusnya menjadi motivasi orangtua untuk memberikan yang terbaik pada anak. Bukan hanya soal materi dan pendidikan (sekolah), melainkan kasih sayang dan panutan. Setiap anak merindukan sosok idolanya sebagai contoh. Orangtua adalah lingkungan terdekat bagi mereka. Apa jadinya jika seharian anak hanya dekat dengan pengasuh atau televisi yang tontonannya pun kita enggan melihatnya?

Menghadirkan anak memang mudah, namun mendidiknya bukanlah hal mudah. Sosok ibu sangat penting dalam pendidikan anak sejak dalam kandungan. Membacakan ayat-ayat suci Alquran, sesekali membacakan buku cerita, seringnya mengajak anak berbicara dan membelainya akan memberi stimulasi yang baik. Ibu pun dapat melahap berbagai ilmu tentang parenting (pola pengasuhan anak yang baik), kesehatan anak, dan lainnya. Ini semua akan berguna. Hingga saat sang anak sudah nyata ada, kita tak lagi kerepotan mengurusi karena sudah dibekali ilmu. Saat sang anak mulai bertumbuh, ini saatnya orangtua mempraktikkan ilmu yang selama ini dimiliki sehingga terbentuk proses dari "tahu" jadi "mampu".

Sekali lagi, ini semua kekuatan cinta. Cinta yang membuat orang tak mampu jadi berdaya. Yang awalnya tak mau jadi mau. Cinta memiliki kekuatan tersendiri yang membuat Dewi Sartika, di tengah keterbatasannya mau dan mampu mendirikan sekolah untuk kaum Hawa. Maka dengan kekuatan cinta itulah, kita sebagai ibu memberikan waktu terbaik, kasih sayang terbaik, didikan terbaik untuk anak kita. Sebagai bapak kita memberi nafkah yang terbaik, waktu yang berkualitas, menjadi pendengar dan teman terbaik dibandingkan teman-temannya di luaran. Bukankah indah jika melihat anak kita tumbuh dengan kesuksesannya? Berkat siapa? Berkat Tuhan dan kita, orangtuanya. (Anggota Forum Lingkar Pena Bandung Trainer, terapis hipnoterapi dan praktisi EFT)

Galamedia, 24 Desember 2010

Refleksi 22 tahun : Impian akan Kematian


Bismillah..

Mungkin kita jengah dengan kata ini. Mati. Sesuatu hal yang mungkin kita enggan bahas. Bahkan kita –saya khususnya- takut jika ada yang bilang “Kalo ada umur”, dan kalimat-kalimat lain yang seolah mengingatkan kematian. Terlepas dari itu, kematian adalah kepastian. Tanpa mengalami “mati” takkan pernah kita bertemu dengan Sang Cinta yang amat kita Rindukan. Kematian adalah pasti. Tanpa melewatinya surga takkan pernah kita tahu rupanya. Begitu juga neraka.

“Ngapain sih ngomongin kematian segala. Toh, umurmu kan baru 22 tahun. Berkisahlah tentang cita atau cinta. Berceritalah bagaimana indahnya mempersiapkan pernikahan atau indahnya impian daripada perencanaan kematian. Bukankah banyak hal lain yang lebih penting untuk dibahas, daripada kematian”. Begitu kata ego saya.

Ya, memang benar indah jika kita bicara soal cita atau cinta. Bicara pendamping yang didamba, pernikahan yang menjadi impian kita. Tapi, bukankah itu belum pasti? Bukankah kita masih buta akan masa depan kita? Bukankah kita begitu lemah karena belumlah tahu misteri masa depan kita sendiri. Hingga untuknya pun, kita selalu meminta pada Penguasa masa lalu dan masa depan, akan kebaikannya.

Bukan sahabat, bukan maksudku untuk meluruhkan cita, impian dan asa kalian. Seperti kata Arai, bermimpilah! Maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Ciptakanlah capaian yang tinggi, tapi ingatlah bahwa taksemua citamu bisa kau dapat. Saya pun punya impian. Dan salah satunya, adalah kematian yang saya cita-citakan.

Betapa indahnya, saat meninggal kita tengah mengerjakan amalan yang amat kita cintai. Seperti Alm. Ustad Rahmat Abdullah. Ketika wafat beliau tengah syuro (rapat). Dan selepas berwudhu, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Alm. Ida Kusumah yang meninggal saat melangsungkan amalan tercintanya, acting. Sahabat, ingin meninggal dalam keadaan sepeti apa? Tengah melakukan apa?

Seorang guru saya bilang, bahwa kematian seseorang dan kehidupan setelahnya ditentukan dari ayat Al-Quran terakhir yang ia baca. Dan mengalirlah cerita darinya. Seorang ikhwan alumni ITB yang begitu aktif dan sholeh. Saat itu, ia dan ayahnya akan mudik ke kampungnnya di Jawa Tengah. Berboncengan motor, mereka melintasi jalanan. Namun, Allah berkehendak lain saat motor yang dikendarainya kecelakaan. Sang ayah tewas seketika. Dan ikhwan sholeh itu meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Rekan sang ikhwan pun melihat isi kantong almarhum. Betapa indahnya, saat melihat salah satu isinya adalah Al-Quran plus terjemahan. Dan dirunut, surat terakhir yang ia baca adalah At-Takwir. Subhanallah. Sahabat, surat mana yang mau sahabat pilih nanti?

Teman sejati adalah ia yang selau ada saat kita bahagia pun saat kita sedih. Guru saya bilang, teman sejati kita nanti bukan orang tua kita, bukan kakak atau adik kita, bukan kakek nenek, pun bukan pendamping kita. Sahabat sejati kita nanti adalah Al-Quran. Di bumi ia mendamaikan hati, di alam kubur ia laksana dian penerang, dan di yaumul hisab ia adalah saksi dan pembela kita. Dia pun yang akan mendekatkan kita dengan Allah dan Rasulullah. MasyaAllah, sudah terjalin seerat apa hubungan kita dengan Al-Quran??

Milad ini adalah sarana untuk saya introspeksi diri. Sudah punya bekal apa? Mau meninggal dengan amalan baik apa? Sudah sedekat apa dengan Quran? Ah, lagi-lagi saya merasa miskin amalan dan kaya dosa. MasyaAllah..

Semoga tulisan ini bermanfaat. Dan semoga sahabat berkenan memberikan kesaksian untuk saya di yaumul hisab. Ya Tuhan kami maafkanlah kami, ampuni kami, dan kasihanilah kami. Sesungguhnya hanya Engkau sebaik-baik Penolong kami…(QS. Al-Baqarah: 286)


RBC, Saat usia 22 tahun 8 hari..
-adenyando-

Namanya Zelfan


Bismillah..

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sama seperti kita. Aku dan kau, sahabat. Zelfan takbisa meminta pada Tuhan untuk lahir di rumah sakit mewah atau rumah bersalin elite. Ia pun takpernah bisa memilih dari rahim ibu mana ia dilahirkan. Ibu yang lembut dan penuh kasih saying, atau ibu yang melahirkannya karena bentuk keterpaksaan.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Ahad siang itu terik. Mentari membakar aspal terminal hingga melepuh. Seorang ibu muda terhuyung dalam angkot. Sementara penumpang lain sudah turun, ia enggan. Ia menggigit bibir menahan nyeri. Rasa mulas yang membelit perutnya. Dari pakaiannya takterlihat bahwa ia tengah hamil 38 minggu. Sudah waktunya. Tapi lihatlah, ini angkot bukan rumah bersalin.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Sang sopir angkot menghardik ibu muda itu. Benaknya bertanya-tanya mengapa sang ibu tak turun-turun. Dilihatnya keringat sebesar biji jagung mengalir dari kening sang ibu. Dipegang perutnya menahan mulas. Wah, ada yang gawat pikirnya. Sang supir berlari meninggalkan perempuan 25 tahun itu meringis.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi yang lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Sang sopir angkot gelagapan. “Aya nu rek ngajuru! Aya nu rek ngajuru!”. Teriaknya ke seantero terminal. Kawan-kawan seperangkotan ikut merubung. “Dimana?”. Berduyun-duyun mereka mengekor langkah sang sopir. Ibu-ibu warga sekitar tak kalah heboh. Langkah mereka menyatu dengan lepuhan aspal terminal.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Rombongan penasaran itu menyaksikan detik memilukan. Sang ibu yang kesakitan. Celana jinsnya yang basah. Air ketubannya sudah pecah. Biasanya tak lama akan muncul lendir darah. Sudah waktunya. “Tos weh candak ngangge taksi ka RBC!” seorang ibu memberi ide. Taklama sang ibu hamil diboyong menuju taksi. Sang ibu pencetus ide sekaligus member RBC (Rumah Bersalin Cuma-Cuma) mendampingi. Pun suaminya.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sepanjang jalan menuju RBC, sang ibu hamil makin lemas. Kepala bayi makin mendesak ingin keluar. Nafasnya sudah tersengal-sengal. RBC sudah tak terlalu jauh. “Bu, tahannya bu! Tarik nafas. Sakedap deui dugi!”. Sang ibu pencetus ide mencoba menenangkan. Suaminya yang duduk di samping supir takkalah panik. “Enggalan, pir! Tos bade babar yeuh!”.
Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Tepat di depan halaman RBC taksi itu diparkir. Sang ibu sudah kepayahan untuk berjalan. Dokter dan bidan berdatangan membantu persalinan. Taksempat ibu itu beralih ke ranjang yang lebih layak. Sang bayi ingin segera keluar. Walhasil ia dilahirkan di sebuah taksi. Tempat lahir yang takbisa ia pilih sebelumnya.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sang ibu mendapatkan perawatan nifas di RBC. Taklama, ia memaksa untuk pulang. Pertanyaannya, mau pulang kemana? Bukankah dia seorang musafir. Bukankah ia tersesat di belantara terminal dalam kondisi akan melahirkan. Takmembawa barang apapun atau uang sepeser pun. Lalu mau pulang kemana? Dan bagaimana dengan bayi laki-lakinya ini?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Bayi mungil itu berkulit putih. Hidungnya mancung. Ganteng sekali. Mirip dengan ibunya. Cantik tanpa sapuan bedak dan make up. Sejak lahir, tak setetes pun ASI ibunya berikan. Bayinya merengek kehausan. Sebotol susu sapi meredakan tangisnya sementara. Ia lahap karena kelaparan. Sedang ibunya gusar. Ia ingin hengkang. Ia ingin pulang.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Zelfan menangis kian keras. Namun taksedikit pun tangisanya menyentuh nurani sang ibu. Meski hanya sekedar pelukan atau kecupan. Taksedikit pun. Sang ibu bersikeras ingin pulang ke kampungnya. Ia ingin pulang sendirian. Padahal belum usai masa nifasnya. Ia tetap berkeras. Lalu bagaimana dengan dengan Zelfan? Bagaimana dengan bayi mungilnya?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan . Takkan pernah bisa. Nasibnya kian tak jelas. Ibunya tak mau membawanya pulang. “Tos weh candak. Pasihkeun ka saha weh nu hoyong.” kata sang ibu ringan. Nadanya seperti dengan ikhlas memberi barang saja. Hey, ini seorang bayi bukan barang. Bayi yang lahir membawa masa depan bukan barang mati yang bisa dibuang kapanpun dan dimanapun. Nampaknya sang ibu tak bergeming. Akhirnya setelah berembug, para sopir angkot dan pemuda setempat patungan uang. Uang ini akan dijadikan ongkos sang ibu pulang ke kampungnya. Ibu itu gegas pergi dengan santai. Lalu bagaimana dengan Zelfan?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takpernah bisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Beberapa hari setelah dilahirkan, ibu angkat Zelfan datang ke RBC. Ibu angkatnya adalah sang ibu pencetus ide itu. Bahkan nama yang Zelfan yang tersemat untuk lelaki mungil itu, ia yang memberi. Ia memutuskan untuk mengurus bayi lelaki malang itu. Batinnya terketuk. Beberapa bulan yang lalu bayinya meninggal dalam kandungan. Kehadiran Zelfan menghapus sedihnya. Kini, ia dan suaminya yang merawat Zelfan. Namun, bayi mungil itu sakit. Ia mengalami diare. Ini mungkin karena susu sapi yang dikonsumsinya. Semacam alergi laktosa.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takpernah bisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Keesokan harinya sang ibu angkat membawa Zelfan kembali ke RBC. Ia meminta rujukan. Diare Zelfan menghebat. Kini ditambah turgor kulit yang menurun. Ubun-ubunnya mulai cekung. Lengkap sudah penderitaan Zelfan. Bayi merah itu ditinggal ibu kandungnya, dan kini harus dirujuk ke rumah sakit karena alergi susu sapi. Seandainya sang ibu kandung mau berbaik hati memberikan ASInya untuk darah dagingnya itu, mungkin hal ini takkan terjadi…
Sahabat, mohon doanya untuk Zelfan ya..

Dalam gerimis yang romantis, 6 Dzulhijah 1431 H

Sebuah Cerpen : Flamboyan

Senja itu cuaca mendung. Awan berkumpul menbentuk kawanan hitam menaungi sepanjang jalan yang kulewati. Menjelang hujan di sore hari suatu yang indah bagiku. Berpayung dalam cuaca hujan amat kurindu. Apalagi kalau beli gorengan hangat, nikmat rasanya.

Angin semilir menyapa rambutku, membuat helaiannya berderai satu-satu. Ah, sore yang kurindu. Jalan terasa lengang kini. Mungkin orang-orang malas ke luar rumah saat cuaca tak bersahabat ini. Siapa bilang tak bersahabat! Suasana kala hujan kan turun ini amat kutunggu. Rasanya romantis. Apalagi kalau ditemani sang kekasih. Ah, melantur.

Angin semakin bertiup kencang. Aku mulai kedinginan. Namun, badanku telah terbungkus jaket wol hitam tebal ditambah sebuah syal merah makin hangatkan leherku. Entahlah akhir-akhir ini cuaca amat dingin. Malah-malah aku sering beser karena kedinginan. Namanya juga respon fisiologis.

Kembali ke cerita, aku masih berjalan sendirian di atas trotoar yang pemandangannya semrawut oleh para pedagang. Beda dengan jalanan Bandung tempo dulu yang indah terawat. Penuh dengan bunga dan rimbun pepohonan. Tapi aku tak terganggu. Toh mereka juga mencari uang buat hidup dan halal pula yang mereka kerjakan. Namun pemerintah dan masyarakat seolah sangat terganggu dengan hal itu. Alasannya tak jauh dari mengganggu ketertiban, keindahan kota, dan sebagainya. Hematku, jika ingin diamankan sebaiknya sediakanlah dulu lapangan kerja pengganti untuk para pedagang itu. Jangan asal gusur, kan sama-sama cari uang buat makan. Meminjam istilah Gus Dur, gitu aja kok repot!

Pandanganku dari trotoar yang semrawut kini kuganti dengan pohon-pohon yang menjulang di sepanjang jalan. Waw! pohon-pohon itu mungkin sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Mungkin pohon ini yang membuat Bandung dulu dijuluki sebagai Kota Kembang. Deretan pohon itu tingginya menjulang kira-kira 12 meter. Kulit batangnya yang licin sudah banyak yang terkelupas. Warnanya coklat kelabu. Akarnya terlihat begitu kuat mencengkram trotoar jalan. Badan trotoar tampak terangkat olehnya seolah membuat retakan besar hasil gempa. Pohon dengan cabang banyak ini serupa payung raksasa. Aku dinaunginya. Daun majemuk dan rapat membuat nyaman. Warnanya hijau muda hingga hijau tua cerah, kaya akan klorofil. Bentuknya seperti pakis, ringan dan lembut. Tampak gemulai dibelai angin. Perlahan berjatuhan dari tangkainya.
Namun yang membuatku lebih kagum, pohon itu berbunga. Bunganya besar persis seperti anggrek. Warna merah jingga hingga merah tua membuatnya makin eksotik saja. Ia mekar dalam sebuah kumpulan padat dan rapat. Kalau orang Sunda bilang raranggeuyan. Harum pula baunya.

Kekagumanku memuncak ketika aku tengadah. Menyaksikan lebih detail pohon nan eksotik ini. Pohon yang menjulang dihadapanku, menyuguhi pemandangan yang luar biasa. Bunga-bunga jatuh berguguran diterpa angin semilir. Melayang-layang dalam buaian angin bak selendang mayang yang turun dari kahyangan. Berserakan di trotoar dan badan jalan dengan warna jingga mencoloknya. Adegan ini persis di film India. Kala sang aktor atau aktris membenamkan tubuhnya dalam lautan bunga warna-warni. Rasanya aku mau dibenamkan juga. Sebuah romantisme yang sublim.

Pohon ini seolah mengeluarkan daya magis yang amat. Menyihirku dalam romantisme yang menyengat. Romantisme yang melumuri seluruh dinding hatiku menjadi jingga warnanya. Romatisme yang membuatku mematung, membatu. Romatisme yang meracuni syaraf-syaraf di otakku seperti bisa ular yang bercampur dalam aliran darah dan membuat lumpuh akralku. Beku. Membenamkan aku dalam pusaran romantisme yang berputar dahsyat dalam otakku. Darah di ubun-ubunku terasa mengelegak. Seluruh isi kepalaku dipenuhi nuansa merah jambu.

Aku mulai jatuh cinta pada pohon ini. Namun nama pohon ini seakan membayang berwujud pertanyaan. Rasa penasaran mulai menekan-nekan dinding hati terdalam. Pertanyaan dalam otakku berjejal-jejal ingin keluar. Isi mulutku tak kuasa untuk menyampaikan kata-kata tanya. Pohon ini membuat aku kaku. Membisu. Tak pernah kutemui pohon sesakral ini sebelumnya. Tiba-tiba seorang pak tua datang menghampiriku yang masih membatu.

"Kenapa neng, kok diem aja?"
"Po-hon-nya pak ?!"
"Oh, ini mah pohon flamboyan, neng. Tapi sayang besok mau di tebang."

Tiba-tiba romantisme yang awalnya membumbung kini melenyap. Sereset bambu serasa tercekat di tenggorokanku. Perlahan kutatap pak tua disampingku. Pandanganku kuyu, melihat pak tua itu hendak berlalu.

Senja itu
Flamboyan berguguran
Seorang dara memandang
Terpukau...

Satu-satu
Daunnya berjatuhan
Berserakan di pangkuan bumi

Bunga flamboyan itu diraihnya
Wajahnya terlihat sayu
flamboyan berguguran
berjatuhan, berserakan

Sejak itu sang dara berharapkan
Esok lusa kan bersemi kembali..

(Bunga Flamboyan oleh Bimbo)

(Dalam romantime flamboyan) Bandung, 040209

Menciptakan Keajaiban!

“Kehidupan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, melihat semua kejadian sebagai hal normal adanya dan menganggapnya biasa-biasa saja. Kedua, melihat semua kejadian sebagai keajaiban-keajaiban yang Tuhan ciptakan untuk kita.”

Melihat quote itu, saya memilih yang kedua. Saya setuju, bahwa kejadian-kejadian yang saya alami adalah campur tangan yang Maha Kuasa. Dan saya baru sadar, bahwa saya hidup diantara keajaiban-keajaiban itu. Subhanallah..

Keajaiban itu bermula saat secara tidak sengaja saya bertemu guru ngaji saya. Beliau dulu yang mengajarkan saya menulis kaligrafi. Saat itu beliau sedang belanja. Saya yang sedang berjaga di kios bapak, menghampirinya. Berniat silaturahim maksudnya.

Terakhir bertemu, saat saya kelas 3 SMP. Takada yang berbeda dengan fisik beliau. Kecuali badannya yang sedikit berisi. Maklum sudah jadi ayah dari 2 orang anak. Obrolan kami bergulir. Dari kegiatan kuliah saya yang baru usai, hingga rencana saya ke depan. Jujur saat itu saya sedang bingung mengenai pekerjaan. Keputusan saya untuk menunda profesi membuat saya memutar otak untuk mencari kegiatan lain selepas kuliah. Ya apa lagi kalau bukan kerja. Lulus sudah, terus tinggal kerja, dan...^^ v

Kini, beliau berprofesi sebagai terapis. Terapis akupuntur tepatnya. Ia mengajak saya untuk belajar akupuntur. Setelah beberapa kali konsultasi, tak hanya ilmu akupuntur yang saya dapat. Berbagai hal. Salah satunya ilmu sedekah. Amal yang sering saya dengar dari seorang ustadz kondang yang terbukti mendatangkan keajaiban. Meski dari seorang ustadz termahsyur, belum cukup membuat hati saya tergerak untuk melakukan amal tersebut.

“Kalo mau dapet kerja, sedekah geura!”. Begitu petuah ajaib itu muncul dari bibir guru saya. Saya terima dengan anggukan kepala. Kemudian mengalirlah ceritanya. Dulu beliau hanya guru ngaji biasa. Kemudian seseorang mengajaknya untuk belajar akupuntur. Ia pun belajar bermodalkan beasiswa. Walhasil kini ia sudah memiliki kurang lebih 500 pasien.

Perjalanan terjal menghiasi perintisan usahanya. “Pertama, Bapak cuma dibayar 25 ribu. Malah kadang-kadang ada yang ngga bayar. Tapi Alhamdulillah dari situ, rizki mah ngalir weh..! Dulu bapak kemana-mana pake sepeda. Sekarang Alhamdulillah kebeli motor” paparnya. Saya lihat motor hitam mengilat itu bertengger di parkiran. Subhanallah.

Apa rahasianya? Ternyata sedekah sahabat. Beliau tidak khawatir Allah akan menahan rizkinya. Karena menurutnya, selama manusia masih bernafas rizkinya selalu mengalir. Dan setelah tutup usia barulah rizkinya di dunia habis. Beliau pun takkhawatir jika setelah sedekah, hartanya akan berkurang. Karena dia yakin bahwa Allah akan mengganti dengan yang lebih banyak. Bahkan sepuluh kali lipat!

Suatu kali ia sempat menerapi pasien. Sayangnya, pasien itu kurang mampu. Maka, ia pun mengikhlaskan biaya terapi yang 30 ribu itu. Ia niatkan untuk sedekah. Nah, sebagai gantinya Allah memberikan 10 kali lipat. Uang 30 ribu itu diganti 300 ribu lewat satu pasien lainnya. Maha Suci Allah..

Dari situ, hati saya tergerak untuk melakukan hal yang sama. Saya memulainya. Dan, percaya ngga percaya it’s work, sahabat! Saya yang saat itu galau karna tak kunjung dapat kerja, kini bisa merapat ke perusahaan yang awalnya menolak saya. Di satu siang yang ajaib menuju Jatinangor, saya ditelpon pihak HRD untuk menghadap. Tanpa ba-bi-bu sang manajer mengesahkan saya jadi bagian dari perusahaan. Subhanallah.. Nikmat Tuhan-mu yang mana yang kan kau dustakan? (QS. Ar-Rahman).

Selain itu serentetan tawaran kerja mengalir pada saya. Ada yang menawarkan magang di RS langganan belanja bapak saya, ada yang menyarankan melamar di klinik universitasnya bekerja, bahkan ada yang mengajak ke Saudi. Pun keajaiban-keajaiban lain datang bertubi-tubi. Dan saya semakin tercengang dengan apa yang Allah perbuat pada saya dan keluarga.

Selain keajaiban materi, non materi lebih penting. Sahabat mungkin pernah merasakan betapa bahagianya bisa menolong orang. Meski dengan uang yang tak seberapa. Tapi ketentaraman dan kebahagiaan batin takbisa dipungkiri. Memang benar apa kata Abi Pepeng. “Kebahagiaan akan terasa jika ia dibagikan”. Jika sahabat ingin bahagia maka berbagilah..

Sabda Rasulullah,“Belilah olehmu kesulitanmu dengan sedekah”. “Obatilah penyakitmu dengan sedekah”. Dengan sedekah semua akan berkah, insya Allah..
Jika kau ingin mendapatkan keajaiban-keajaiban dari Tuhan, maka ciptakanlah keajaiban itu dengan sedekah. Rizki, kesembuhan, kebahagiaan, kelapangan, bayar utang, pendamping hidup, kelancaran urusan, jemputlah ia dengan sedekah. Jangan lupa, sertai keikhlasan pula didalamnya. Jadikan sedekah sebagai tanda kesyukuran kita atas nikmat Allah.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesunggunya azab- Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7).

Selamat Menciptakan Keajaiban!
Bandung, 14 Syawal 1431 H

Skripsi..oh..Skripsi..

Bismillah..

Atas permintaan saudariku Indah Budiarti yang baik, dia ingin saya men-share-kan persiapan buat skripsi. Semoga bermanfaat ya!

Setelah empat tahun kita kuliah, akan ditutup sama yang namanya skripsi. Sama halnya dengan KKN, skripsi juga akan menguras banyak tenaga, waktu dan uang terutama. Jadi kalo kita udah berikhtiar sekuat tenaga, masak mau hasilnya biasa-biasa aja? Kalo bisa dapet A, kenapa ngga?! (nantangin ceritanya )

Emm..ada beberapa tips nih buat adik-adikku yang bakal menghadapi skripsi semester depan, cekidot!

1. Pilih tema ato masalah yang disukai. Kenapa? Karena kalo kita mengangkat tema yang kita minati, kita akan mengerjakannya dengan sepenuh hati. Perlu diingat yang kita cari adalah MASALAH bukan JUDUL. Belum tentu judul yang bagus, ternyata di lapangan ngga ada masalah tentang hal itu. So, lebih enak survey langsung ke lapangan. Gali masalah yang ada disana. Rajin-rajin main ke perpus baca skripsi orang, main ke rumah sakit, ato searching di internet (asal jangan kebanyakan main fesbuknya, hehe..)

Terus, tentang jenis penelitian. Ada Kuantitatif dan Kualitatif. Pilihlah yang sesuai di hatimu. Jangan hanya ikut-ikutan temen. Misalnya ada yang lebih suka kualitatif (seperti saya). Meski beda dan jadi minoritas, karena memang pas di hati, saya melakukannya dengan riang dan sepenuh hati. Jadi tentuin pilihan hatimu (bukan masalah jodoh aja loh!)

2. Buat Deadline. Nah kalo udah tau apa yang mau digarap, kita buat deadline. Biasanya saya suka menargetkan satu minggu harus minimal satu kali ketemu dosen buat bimbingan. Karena percaya deh itu bakal ngaruh banget buat ngejaga semangat kita ngerjain skripsi. Terus biasakan, satu hari melakukan progress buat skripsi kita. Meskipun hal yang sepele. Misalnya hari Senin nyari masalah, hari Rabu kita studi pustaka, selanjutnya studi lapangan. Ato hanya revisi kata-kata di proposal juga, iseng-iseng bermanfaat.

3. Silaturahim sama dosen. Yups, bina hubungan baik sama dosen juga perlu. Ngga harus dengan memberi ini itu. Bersikap baik lewat lisan dan perbuatan itu yang penting. Tunjukkan bahwa kita respek sama beliau. Dan tanpa beliau kita tak berarti apa-apa (bukan berarti bergantung sama dosen ya..tetep bergantung mah cuma sama Allah).

Terkadang ngga semua orang dapet dosen yang “baik”. Nah, kalo yang dapet dosen yang kesannya “abiasa” ini merupakan tantanganbuat kita. Kalo dosennya super sibuk, kita bisa janjian lebih intens. Ini juga memacu kita untuk bekerja sesuai deadline.

Terkadang kita dapet dosen (dosen utama dan dosen pembimbing) yang berbeda pendapat tentang skripsi kita. Bisa disiasati dengan di“tabayun”-kan satu sama lain. Minta pendapat satu sama lain. Baiknya gimana?

4. Tantangan yang berbeda-beda. Percayalah, bahwa kita punya tanjakan dan turunan yang berbeda-beda. Satu orang dengan yang lain masalahnya pasti beda (yaiyalah orang garapannya juga beda hehe..). Contoh masalahnya : belum dapet masalah skripsi, dosennya sibuk, perizinan rumah sakit lama, penelitiannya rumit, dll.

Kalo dipikirin mulu masalah akan tetap ada. Masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk dipikirkan. Jadi inget kata-kata seorang sahabat, masalah itu bukan untuk diPIKIRIN tapi diLAKUIN! Biasanya dengan action, masalah akan menyingikir. Karena terkadang kita yang memperumit masalah kita sendiri. Misalnya, belum dapet masalah buat skripsi, ya dicari bukan hanya dipikirin.
Yang terpenting bukan masalahnya, tapi gimana solusinya. Bukankah orang sukses itu adalah orang yang melihat solusi dibalik masalah? So, kamu orang sukses kan??:)

5. Teori “Bakar Kapal”. Saya sering menyebutnya seperti itu. Terinspirasi dari seorang khalifah panglima perang yang membakar kapal agar pasukannya tak bisa kembali. Dan mau ngga mau mereka harus menang dalam perang.

Nah, saya praktikkan ini biasanya saat males. Contohnya, waktu itu saya males banget ngerjain Bab 4. Ditambah lagi computer rusak.Padahal udah satu minggu saya belum bimbingan. Jadi teknik “bakar kapal” ini saya praktikkan. Saya hubungi dosen, dan minta waktu bimbingan. Mau ngga mau kan saya harus ngerjain bab 4 tuh. Pokonya harus selese ngga tau gimana caranya. Sampe berhari-hari mantengin labkom ampe minjem laptop temen saya jabanin. Percayalah, There is a will there is a way. So, Jangan Ragu untuk Membakar Kapalmu!

6. Bantuin temen. Ada hadist yang saya ngga terlalu hafal versi aslinya. Rasulullah bilang “Siapa yang membantu sudaranya, maka Allah akan membantunya”. Atau ayat Al-Quran yang memaktub “Barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan memudahkan urusannya”. (Ada yang tau surat apa??). Tapi nangkep kan point-nya??

Saat skrispi kita terkadang lupa bahkan autis dengan dunia kita sendiri. Istilah kerennya mah individulistis. Terkadang ada yang sama sekali ngga aktif di organisasi dengan alibi skripsi (saya banget itu mah!). Tapi jangan sampe kita dialienasikan sama yang namanya skripsi. Perlu diingat, skripsi bukan sesuatu yang Wah! Hingga kita melupakan interaksi kita sama temen dan organisasi. Skripsi hanyalah satu fase yang harus kita jalani. Persis mata kuliah lain kayak KDM, Gadar, Kep, Jiwa dll. Jadi, kalo kuliah yang lain bisa, masak yang ini nggak?!

Owya, jangan lupa bantuin temen yang lagi kesulitan dan butuh bantuan. Misal bantuin penelitian (kuantitatif biasanya), hubungin dosen buat seminar ato sidang, penyedia konsumsi, dll. Siapa yang membantu, dia akan dibantu. Percayalah sudah jadi hukum alam kok!

7. Kuatkan Sinyal dengan Allah. Ngga bisa dipungkiri, skripsi adalah stressor. Yang bisa bikin kita Fight or Flight (hayo ini kerja system syaraf apa??). Ada yang akan berani melawan tantangan ini. Ada juga yang lari saat berhadapan yang namanya skripsi. Semua bergantung pilihanmu! Kalo saya sih pilih hadapi. Meski masalahnya terlihat besar , tapi yakinlah kita punya Yang Maha Besar. Allah Swt akan membantu kita setiap saat. Apalagi jika kita tingkatkan ibadah dan kedekatan kita padanya.
Misalnya dengan sholat dhuha, tahajud, infak ato shodaqoh. Perbanyak doa untuk pribadi dan teman-teman kita pun jangan lupa.

Semua kan terasa lapang dengan kehadiran-Nya. Semua masalah akan terasa mudah jika kita hanya bergantung pada-Nya. Yakinlah setelah Tanjakan akan ada Turunan. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Dan yakinlah Allah akan bersama kalian, selama kalian membersamai-Nya.

Mungkin segitu dulu deh tips yang bisa saya kasih. Last but not least, I hope! Maaf jika ada salah-salah kata. Dan sengaja dibikn versi bahasa slebor biar ngga boring bacanya (saya harap gituh!).
Saya yakin temen-temen bisa melalui yang namanya SKRIPSI. Kita aja bisa, masak kalian ngga?! (Sekali lagi nantangin..)

Kenapa NYARI MASALAH, NGEJAR-NGEJAR DOSEN, BIMBINGAN, BIKIN PROPOSAL, SEMINAR, dan SIDANG itu terasa PAHIT??

Karena LULUS dengan Ipk CUMLAUDE, WISUDA dan SENYUM ORANG TUA kala melihat kita wisuda itu Begitu MANIS..

TETAP SEMANGAT ADIK-ADIKKU!!
DOAKU BERSAMAMU…

Menanti Mentari, 22 Ramadhan 1431 H

Ramadhan Pertama

Bismillah..

Ini bukan bercerita tentang Ramadhan saya pertama kali. Alhamdulillah (seharusnya istighfar ya..) sudah hampir 22 tahun saya hidup di dunia. Tentu sudah 22 tahun, bulan penuh rahmat ini saya lalui. Ini juga bukan tentang Ramadhan pertama saya bersama “siapa”. Karena belum ada yang mendampingi saya di bulan penuh cinta ini. Insya Allah ada masanya nanti..:)

Patut disyukuri, di awal bulan ini saya mendapatkan sebuah kesempatan. Kesempatan yang dulu saya lakukan setengah hati. Karena jujur saat kuliah hati saya terbagi, antara Bandung-Jatinangor. Kini setelah aktif lagi di Bandung, saya enggan lepas kesempatan ini (insya Allah). Kesempatan itu adalah mengisi kembali mentoring adik-adik SMA almamater saya. Saya percaya, Allah memberikan kesempatan ini untuk memuliakan saya. Pun sahabat jika memiliki kesempatan apapun itu, Jalankanlah dan Mulia-lah, insya Allah..

First moment, bertemu lagi adik-adik, ada gugup yang hinggap. Sudah lama saya tidak mengisi mentoring. Meski setelahnya saya nyaman kembali. Suasana kembali cair. Kami berkenalan satu-persatu. Allah akan memuliakan majelis yang menyebut nama-Nya, melantunkan ayat-Nya. Dan dalam lingkaran kecil kami, ayat-ayat cinta-Nya mengangkasa.

Secara keseluruhan, saya melihat ada binar antusias di mata adik-adik. Ada keinginan untuk menimba ilmu bersama. Pun saya. Dalam mentoring saya akan belajar banyak hal. Salah satunya pertemuan saya dengan seorang gadis anggota mentoring saya. Dia begitu melankolis dan kalem. Meski kadang-kadang narsis dengan humornya yang menggigit. Dia pun cantik dan lugu.

Seperti biasa, sebelum mentoring dimulai, kami membacakan ayat Al-Quran. Masing-masing mendapat giliran. Rata-rata bacaannya lancar. Namun lain dengan sang gadis yang satu ini. Awalnya ia mengaku belum bisa baca Al-Quran. Tanpa banyak komentar, saya pikir ya sudahlah mungkin belum begitu lancar atau malu barangkali jika diperhatikan banyak orang. Namanya juga permulaan.

Pekan selanjutnya terjadi hal yang sama. Sang gadis belum juga mau untuk membaca saat ia dapat giliran. Saya makin berprasangka. Ya Allah,apa orang tuanya ngga pernah ngajarin anaknya ngaji ya? Kontras dengan saya yang dari umur tiga tahun, orang tua saya getol mengantar ngaji. Saya dimasukkan TKA-TPA. Belajar agama dari kecil membuat saya setidaknya mafhum. Meski saat ini saya baru sadar ilmu saya belum ada secuil pun.

Kembali pada sang gadis. Akhirnya di pertemuan kali itu terkuaklah misteri itu. Misteri yang awalnya saya sangkakan kesalahan orang tuanya kurang mempersiapkan ajaran agama sang anak. Ternyata eh ternyata, sang gadis seorang mualaf. Ia baru masuk Islam April lalu. Ibunya seorang muslim dan ayahnya Nasrani. Terlepas dari latar belakangnya, saya hanya memfokuskan pada keadaan sang gadis saja.

Jujur, saya belajar banyak dari saudari saya yang mualaf ini. Saya belajar betapa ia gigih mempertahankan agamanya di tengah keluarganya yang mayoritas non islam. Ia begitu taat menjalankan sholat, meski bacaannya belum purna. Pernah ia bercerita, “Teh, tadi saya sholat dhuha. Diajakin sama temen. Kan saya belum bisa, jadi nyontek dia aja..”. Duh Ya Allah, terkadang saya sendiri khilaf meluangkan waktu untuk bersyukur pada-Nya saat matahari sepenggalah naik itu.

Di Bulan Ramadhan pertamanya ini, sang gadis kini rajin menjalankan sholat. Meski harus mencontek buku panduan dan membaca kalimat latinnya. Ia pun belajar membaca Quran. Masih Iqra satu sih,itu pun belum tamat. Tapi saya appreciate akan semangatnya. Dia mulai kritis dengan bertanya ini-itu seputar Islam. Guru, kakak kelas, dan teman-temannya turut membantu.

Sekilas saya terbersit ketaatan Nabi Ibrahim As saat ia mengetahui bahwa Allah-lah Tuhan-nya. Hanya Allah-lah Pemilik alam semesta. Semua yang ada di langit dan bumi tunduk kepada-Nya. Betapa taatnya beliau, hingga rela mengorbankan buah cintanya demi titah Tuhan.
Saya mengurut dada melihat kesungguhannya untuk taat ajaran Allah. Saya tengok dalam diri saya. Duh, ternyata iman saya masih compang-camping. Padahal katanya sudah dari lahir beragama islam. Nyatanya ketaatan saya pada Tuhan patut dipertanyakan. Terkadang saya yang katanya “mafhum”, lebih sering tawar-menawar aturan dengan Allah. Astagfirullah, semoga Allah mengampuni..

Sahabat mohon doanya untuk saudari kita itu. Semoga Allah selalu menguatkan hatinya, menjaga imanya dan melindunginya selalu di Jalan Allah. Semoga dia tetap istiqomah. Dan semoga kita selalu belajar untuk taat dan dijauhkan dari rasa ujub dan sombong yang mengerogoti rasa tunduk kepada Tuhan. Amin..

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah Beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dengan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari Jalan Allah. Dan(Ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal 46-47).

Semoga bermanfaat..


Bandung, 25 Agustus 2010

Maaf, Aku pergi! Mengejar Matahariku Sendiri

Bismillah..

Sahabatku..setiap kita punyamatahari sendiri
punya impian yang ingin diraih,
punya asa yang ingin dicapai,
meski tak akan selalu bersama
Karena masing-masing kita punyatakdir yang berbeda

Cukuplah kebersamaan kita selamaempat tahun ini
kusimpan rapi dalam laci memori
agar tak tercecer apalagiterburai
Hingga jika kuingin kalian hadir,
Tak susahlah aku untuk sedikitme-recall dan memutar roll film
kenangan indah kita

Sahabat, betapa aku merasa nyamandengan kau di kala dekat
Airmataku kau ganti dengan tawayang gemuruh di selaksa jiwa
Riuh hangat nasihatmu yang selalu mengisi rongga dadaku kala hampa

Sungguh aku pun memiliki impian sebagaimana kalian
menggantang ilmu merawat insan lebih purna
Namun, takdirku tak berkata demikian
aku urung membersamai kalian menuntaskan
satu tahun belajar di rumah kemuliaan
Aku tak 'diizinkan' dulu untuk meraih apa yang kalian raih
persis seperi Lintang (LaskarPelangi) yang mimpinya beradu
dengan kenyataan pahit seperti empedu ular
seperti Baso (Negeri 5 Menara)yang asanya tersandung nurani hati
mungkin Allah telah menyediakan matahari lain untukku
matahari lain yang mungkinterbaik untukku
matahari yang tak serupa denganapa yang kalian capai

Matahari adalah matahari
yang bintang
yang tinggi
yang mesti berlelah-lelah
berpayah-payah untuk kitamenggapainya
untuk kita bisa bersinarkarenanya..

Sahabat berat sungguh pergi dari lingkaran kalian
Beban sungguh tanpa tawa kalian
tapi, doa ini akan senantiasa hadir dalam diamku untuk kalian
semoga pun kalian tak luput membersamaiku dalam doa-doa yang kalian rapal
sahabatku terkasih, maaf akupergi
mengejar matahariku sendiri..


yang tlah kau buat sungguhlahindah..buat diriku susah lupa..(Mantan Terindah- Kahitna)



Bandung, 040810
Sahabatmu,
Ade "ando" Fariyani

Astagfirullah, mereka dibilang “Ayam”!!

Bismillah..

Ahad pagi saya diminta untuk mengisi pos tensi di acara Sekolah Ibu. Acara tersebut digelar di sekolah alam yang terletak di daerah Dago Pojok. Jujur saat itu pertama kali saya ke tempat tersebut. Untuk mencapai tempat tersebut biasanya memakai angkot Ciburial-Ciroyom agar satu kali naik. Ternyata setelah menunggu lama, angkot yang dinanti tak jua ada.

Pilihan lain untuk ke tempat tersebut, saya harus naik dua kali. Yakni angkot Sadang Serang-Caringin turun di Pasar Simpang Dago, kemudian dilanjut dengan Kalapa-Dago. Karna khawatir terlambat, akhirnya saya putuskan pilihan kedua saja. Tak lama angkot Sadang Serang-Caringin berwarna biru langit datang. Segera saya meluncur ke tempat tujuan.

Saya lupa bahwa Ahad pagi di sepanjang jalan Dago diadakan Car Free Day. Dimana selama kurang lebih empat jam sepanjang jalan Dago ditutup untuk kendaraan. Tiap Ahad pagi, jalan tersebut digunakan untuk arena olahraga seperti jogging, jalan santai, senam, dan bersepeda. Ketika angkot yang saya tumpangi melintas di jalan Sumur Bandung kemacetan terjadi.

Selama setengah jam saya harus menunggu. Namun angkot yang saya tumpangi tak ada pergerakan sedikit pun. Saat itu hanya ada saya, Pak sopir, dan seorang penumpang laki-laki. Tiba-tiba dari sebrang jalan kami melihat dua orang gadis berambut panjang melintas. Perawakannya yang semampai makin aduhai dengan kaos ketat dan celana pendek yang dipakai. Di tangan mereka ada satu pak rokok putih. Saya taksir mungkin mereka adalah SPG (Sales Promotion Girls) dari produk rokok tersebut.

Gaya dua gadis yang sensual itu mengundang pandangan lelaki. Tak terkecuali pak sopir dan penumpang angkot yang saya tumpangi. Tanpa sadar sopir angkot dan bapak penumpang berujar.
“Eh, eh..aya ayam!”mata dua lelaki itu menyisir badan dua gadis yang aduhai.
“Neng boleh beli rokoknya sebatang ngga??”tanya sopir angkot pada dua gadis itu. Setelahnya, mereka hanya terkekeh.

Dua gadis menghiraukan selorohan sepasang lelaki itu. Sedang saya hanya bisa menarik nafas dan mengurut dada melihat aksi dua lelaki tersebut. Ayam? Begitu rendahkan mereka hingga disamakan dengan hewan? Benak saya masih bingung, siapa sebenarnya yang harus disalahkan. Sepasang gadis atau dua lelaki genit itu?

Akhirnya karena kemacetan yang kian menggila, saya putuskan untuk turun dari angkot dan berjalan menuju Pasar Simpang. Setelah sampai, saya naik angkot menuju Dago Pojok. Saya yang buta jalan menuju Sekolah Alam memaksa untuk bertanya pada warga sekitar. Mereka bilang “Neng jalan lurus terus, sampai mentok. Sekolah alam mah deket Curug Dago. Lurus weh terus.”
Nyaris lunglai kaki saya mengetahui bahwa tempat yang saya tuju dekat dengan Curug Dago. Bisa dibayangkan, yang namanya curug alias air terjun jauhnya pasti minta ampun. Bakal naik-naik ke puncak gunung kayaknya, hiks..

Ternyata tak seperti apa yang dibayangkan, setelah jalan lurus sampai mentok saya dapati tempat tersebut. Sekolah alam rupanya lahan dengan beberapa bangungan kelas bertingkat dari kayu dengan cat warna-warni. Sekelilingnya ada kolam ikan, sawah, ladang jagung, dan lapangan sepak bola. Ada pula ayunan, perosotan, dan mainan anak-anak lainnya. Tak seperti sekolah.Tempat ini nyaris seperti taman rekreasi yang akan membuat betah anak-anak bermain sambil belajar. Pilihan sekolah yang bagus untuk anak, pikir saya.

Kembali pada undangan Sekolah Ibu, disana saya berkenalan dengan ibu-ibu alias ummahat. Meski ada beberapa orang yang masih lajang (termasuk saya), namun sebagian besar panitia adalah ibu-ibu. Di pos tensi saya berkenalan dengan seorang perawat lulusan SPK (Sekolah Perawat Kejuruan). Beliau sudah malang melintang di dunia keperawatan selama 25 tahun. Waw, hampir menyamai umur saya.

Profesi kami yang sama, membuat obrolan diantara kami terbuka. Beliau kini bekerja di sebuah
puskesmas di Bandung. Darinya saya belajar banyak hal. Salah satunya beliau mengisahkan pengalamannya yang hampir sama dengan yang saya alami tadi pagi. Suatu hari ada seorang gadis yang berbodi seksi datang ke puskesmas. Mengapa dibilang seksi, karena saat datang berobat dia mengenakan tank top plus celana pendek. Otomatis dada, paha, dan betis siap jadi santapan mata orang. Dari hasil pengkajian, ternyata sang gadis berprofesi sebagai penyanyi klub malam. Pantas saja jika dia berpakaian demikian.

Sang ibu kembali berkisah,
“Neng tau ga dia sakit apa?” saya menggeleng, “Sakit scabies, ararateul neng. Itu tangannya meuni merah-merah bengkak. Yaudah ibu kasih obat, da dokternya waktu itu ngga ada.”. Saya menjadi pendengar setia.

“Neng tau ga pas dia pulang. Kan naik motor, pas naiknya aduh itu punggung. Mana duduknya ngegang deui. Duh, ibu teh cuma bisa istigfar weh neng sambil bilang ke petugas yang lelaki teh, “Udah yang gitu mah jangan diliat, Dosa!”” Lanjut sang ibu.

Beginikah masalah umat? Tercerabutnya rasa malu dari diri. Saya tengok dalam-dalam dari saya. Adakah benar saya masih punya malu? Apakah benar saya masih punya iman? Bukankah malu sebagian dari iman? Duh, Ya Allah apa yang harus saya perbuat pada saudara saya itu, jika saya sendiri masih miskin rasa malu?


Saat Dhuha di Sekolah Alam

Dari Balik Ruang Hemodialisa

Bismillah..

Masih menyambung dari notes saya sebelumnya. Masih tentang skiripsi yang saya ajukan. Dan Alhamdulillah selasa kemarin sidang saya berjalan lancar. Berkat doa teman-teman semua tentunya. Kali ini saya akan berkisah tentang pelajaran apa saja yang saya serap di sana. Dari balik ruang hemodialisa.

Pertama, disana saya dapati seorang anak yang menggapai surga (insya Allah) dengan merawat ayahnya. Ya, ayah ibu tersebut telah menderita gagal ginjal kronis hampir satu tahun lamanya. Perjalanan cuci darah yang seminggu dua kali, cara memberi makan yang tak boleh sembarangan, memberi minum sesuai diet adalah jalan yang terjal baginya. Emosi ayahnya yang labil, kondisi yang tak stabil, harus ia lewati dengan kesabaran dan kepasrahan. Bukan hanya saat ini, tapi seumur hidup ayah beliau.

Meski ada lelah yang menggelayut, ada bimbang yang menganga, ada putus asa yang kerap mendera. Namun pahala Allah adalah obat mujarab penghapus deritanya. Senyum sang ayah adalah air kala dahaga. Melihat senyum tanpa rasa sakit sudah menjadi penawar saat sakit jantung sang ibu kumat. Ah, betapa indahnya birrul walidain yang ibu itu rangkai selama merawat ayahandanya.

Kedua, saya dapati surga pada keikhlasan para istri mendampingi suaminya kala tak berdaya. Meski kantung matanya menghitam melawan kantuk yang sangat. Raga yang sebenarnya renta untuk menghadapi masalah hidup sendiri. Namun ada keikhlasan saat mereka memapah sang suami masuk ruangan. Ada kesetiaan yang terpancar kala mereka menyeka keringat dan kotoran suaminya tersayang. Dengan ringan, tangan mereka tersedia saat suami meminta usapan kala mengeluh pegal, gatal, atau kesakitan.

Ada telinga yang tak henti-hentinya tersedia saat keluhan meraja. Ada hati yang senantiasa lapang saat kebosanan enggan sirna. Ada samudra harapan yang terpancang dalam doa-doa. Meski tangis yang seringkali mengikis asa, namun keyakinan akan keajaiban Tuhan menghapus nestapa.

Ketiga, saya banyak belajar dari seorang gadis yang terlalu dini mengemban sakit ini. Barulah 15 tahun usianya. Seharusnya masih duduk di bangku sekolah ia. Merancang impian dan angan hingga ke langit sana. Meski harapannya terkubur, ia tetap merasa mujur. Pernah suatu hari saya bertanya padanya, “Neng, minder ga sakit gini, ga bisa sekolah?”. Ia hanya menjawab pendek “Ngga, teh.”.

Mengapa ia mujur? Karena ia masih memiliki orang tua yang begitu sabar dalam duka. Ia memiliki hati yang mungkin terbuat dari permata, hingga kilaunya membuat saya belajar banyak hal padanya. Ketegarannya, ketabahannya menghadapi derita, tanpa lelah mempertahankan hidup. Kontras dengan remaja lain yang saya dapati di rehabilitasi jiwa. Hanya karena putus cinta hilang akalnya. Hanya karena patah hati, ingin bunuh diri. Gadis ini membuat mata saya terbuka bahwa mati itu pasti. Kini atau nanti.

Pun, saya terinspirasi dari seorang janda beranak tiga. Sosok tabah terpancar dari sorot matanya yang ikhlas. Hampir tak ada guratan duka di wajahnya. Anak pertamanya, tumpuan hidupnya pada awalnya, divonis gagal ginjal kronis. Ketergantungan sang anak bertambah karena penglihatannya tak purna. Pembuluh darah matanya pecah. Hingga sang ibu harus memapah putranya kemana-mana.

Ketegarannya meski tanpa suami disisi. Kegigihanya memperjuangkan hidup meski hanya berjualan penganan ringan ke sekolah-sekolah. Sikapnya yang supel dan ramah, membuat saya serasa menganggapnya seperti ibu sendiri. Terlebih, ia ingin dipanggil “Mamah” oleh saya. Ah, saya tak bisa mengelak permintaannya. Saya tersihir oleh kelembutan akhlak beliau.

Bukan hanya wanita, lelaki pun mendapat porsi yang sama dalam menggapai surga. Saya dapati sesosok pemuda yang tetap gigih bekerja berdampingan dengan penyakit kronisnya. Meski impian untuk menikah harus ia elakan dahulu karena keterbatasannya, namun ia masih menjemput rizki Allah dengan semangat membara. Meski tubuh yang sebenarnya tak kuat bertahan lama saat sesak mendera, tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berkarya.

Terakhir, ada para bapak yang begitu setia mendampingi istrinya. Meski sang cinta tak lagi muda, tak lagi elok wajahnya, tak kuat lagi raganya, bukan menjadi alasan untuk berpindah ke lain wanita. Sang bapak ada yang memapah istrinya yang tersedu karena belumlah menerima vonis berat itu. Ada pula yang amanah menjaga anaknya selama sang istri cuci darah tanpa gurat kecewa.

Dan yang paling menyentuh saya, seorang lelaki paruh baya dengan gagahnya mendampingi sang istri saat anfalnya tiba. Digenggamnya tangan istrinya, didekatkannya bibirnya ke telinga pujaan hatinya sambil perlahan menalqinkan istigfar dan syahadat. Ada gurat kecemasan jika sang kekasih meninggalkannya segera. Ada kesedihan yang menggema. Meski hanya Allah-lah yang Tahu kapan waktu yang tepat untuk mengambil nyawa, ia tetap setia.

Bandung,100710
Semoga Allah memberi kemuliaan kepada mereka..

Yang Muda Yang Sehat (Tentunya)

Bismillah..

Sahabat apakah obat rindu itu? Ada yang bilang obat rindu adalah bertemu. Sejujurnya saya rindu, hingga saya ingin bertemu dengan sahabat sekalian lewat catatan ini. Ah, lama rasanya tak berbagi. Setelah menuntaskan deadline impian saya –skripsi-, saya rindu untuk menyapa sahabat lagi.

Kali ini catatan saya akan mengisahkan tak jauh dari skripsi yang saya ajukan. Tentang penyakit gagal ginjal kronis yang mewajibkan pasiennya untuk menjalani hemodialisa (HD). Hemodialisa atau dikenal dengan cuci darah adalah terapi satu-satunya sebagai pengganti fungsi ginjal yang rusak. Bayangkan sahabat, saudara kita, pasien HD menjalani ini seumur hidupnya. Subhanallah..

Pertama bertemu lelaki itu,saat saya melakukan studi pendahuluan. Lelaki berperawakan sedang, berkulit coklat dan rambut gondrong sebahunya tengah asyik berjualan. Lelaki itu menjual pin dan mainan anak-anak di depan ruang HD. Kutaksir usianya sekitar 25 tahunan. Saya menatapnya lekat-lekat terlihat sehat walafiat. Ia khusyuk melayani pelanggan kecilnya.

Tak lama, suster memanggil sebuah nama. Saya baru sadar bahwa sang lelaki adalah pasien HD juga. Padahal kutelisik dari roman mukanya ia nampak sehat. Dengan cekatan ia menuntaskan transaksi terakhir. Kemudian beringsut menuju ruangan. Dari pertemuan itu, saya tak lagi melihatnya. Hingga beberapa minggu saya kunjungi ruang HD tak ada wajah sang lelaki saya temui.

Tiba suatu masa, saat saya melakukan penelitan. Siang itu, saya asyik bercengkrama dengan pasien dan keluarga yang mengantarnya. Berbagi cerita dan pengalaman hidup yang mereka rasakan. Tiba-tiba datang dua orang pemuda. Satu orang nampak menaiki kursi roda. Badannya terkulai, pasi rona wajahnya. Sedang pemuda satunya, ternyata petugas RS yang membantu mendorong roda. Pemuda yang menaiki kursi roda, perlahan beranjak ke kursi tunggu. Tampak menopang badan sekuat tenaga dengan energinya yang tersisa.

Saya yang saat itu tepat dihadapannya, belumlah berani menanyainya. Bukan hanya pucat, sang pemuda terlihat sulit untuk bernafas. Otot-otot pembantu pernafasan jelas terlihat. Nyaris seperti orang yang asma. Bedanya, tanpa bunyi mengi. Saya masih mengamatinya yang gusar. Perlahan direbahkan tubuhnya pada kursi putih panjang itu. Tak lama terlelap ia.

Sejenak saya menyelami bagaimana kehidupan pasien gagal ginjal yang tergantung dengan HD. Bagaimana saat terjadi anfal, hingga sesak nafas yang mendadak datang karena salah makan. Pasien gagal ginjal melakukan diet, sahabat. Tak ada sayuran hijau, tak ada tempe atau tahu, jika pun boleh hanya irisan kecil saja, tak boleh makan buah-buahan dan sebagainya. Yang lebih miris lagi, mereka hanya minum 500ml sehari. Mungkin hampir sama dengan 3 gelas dalam satu hari. Jika berlebih, maka tubuh akan bengkak, perut membuncit, dan nafas akan sesak oleh akumulasi cairan di paru.

Kembali pada sang pemuda, oh ya saya baru sadar. Ternyata sang pemuda itu adalah lelaki penjual pin yang saya temui pertama kali. Saya merasa pangling, karena rambutnya sudah rapi. Tak gondrong lagi. Kini, sang pemuda bangun dari tidurnya dan memilih untuk duduk. Saya masih tenggelam dalam pembicaraan yang mendalam. Tiba-tiba, Braaakkkk!! Tubuh sang pemuda jatuh dari tempat duduknya. Badannya terkulai lemah. Hampir saja kepalanya menyentuh lantai.

Para lelaki berhambur, ada juga yang panik dan memanggil suster. Kemudian dua orang suster datang dan menyuruh bapak-bapak untuk membawa sang pemuda ke dalam. Sang pria digotong menuju ruangan. Sejurus kemudian kepanikan mereda. Dan gemuruh tanya membahana di hati saya, ada apa dengan sang pemuda?

“Bisanya yang sesek, pingsan sampe ga sadar gitu mah karena banyak minum neng.” Kata lawan bicara saya seolah menjawab pertanyaan yang saya ajukan pada pikiran. “Atau juga karena makan pantangan makanan. Kalo si Aa itu mah sakitnya karena kebanyakan minum ex*** j*s*. Abis makan, minumnya itu terus, ngga minum air putih. Jadi weh ginjalnya rusak, padahal kan masih muda yah..”. Aku hanya menjadi pendengar setia.

Kemudian, saya sengaja masuk ruangan untuk melihat kondisi sang pemuda. Belumlah siuman ia rupanya. Sedang para perawat masih sibuk memasangkan jarum di tangannya. Kemudian sambungan selangnya menuju alat hemodialisa. Perawat lain, memasang kanul oksigen karena ia kesulitan bernafas. Selama 4 jam, sang pemuda akan dicuci darahnya.

Ah, kejadian ini membuat saya tersadar akan betapa luar biasanya nikmat sehat itu. Terkadang saya sering telat makan, minum kalau pas haus, sering jajan junk food atau yang berpengawet, lebih senang minuman aneka rasa kemasan daripada air putih. Ah, terkadang saya lalai akan nikmat sehat ini. Betapa bersyukur itu perlu. Atas nikmat bernafas, penglihatan, pendengaran, pencecapan, perabaan, dan nikmat lain yang Allah beri dengan percuma. Seharusnya yang muda yang sehat sentosa tentunya! Semoga bermanfaat!

Menjelang subuh, 26 Juni 2010