Jumat, 26 Agustus 2011

Namanya Zelfan


Bismillah..

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sama seperti kita. Aku dan kau, sahabat. Zelfan takbisa meminta pada Tuhan untuk lahir di rumah sakit mewah atau rumah bersalin elite. Ia pun takpernah bisa memilih dari rahim ibu mana ia dilahirkan. Ibu yang lembut dan penuh kasih saying, atau ibu yang melahirkannya karena bentuk keterpaksaan.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Ahad siang itu terik. Mentari membakar aspal terminal hingga melepuh. Seorang ibu muda terhuyung dalam angkot. Sementara penumpang lain sudah turun, ia enggan. Ia menggigit bibir menahan nyeri. Rasa mulas yang membelit perutnya. Dari pakaiannya takterlihat bahwa ia tengah hamil 38 minggu. Sudah waktunya. Tapi lihatlah, ini angkot bukan rumah bersalin.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Sang sopir angkot menghardik ibu muda itu. Benaknya bertanya-tanya mengapa sang ibu tak turun-turun. Dilihatnya keringat sebesar biji jagung mengalir dari kening sang ibu. Dipegang perutnya menahan mulas. Wah, ada yang gawat pikirnya. Sang supir berlari meninggalkan perempuan 25 tahun itu meringis.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi yang lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Sang sopir angkot gelagapan. “Aya nu rek ngajuru! Aya nu rek ngajuru!”. Teriaknya ke seantero terminal. Kawan-kawan seperangkotan ikut merubung. “Dimana?”. Berduyun-duyun mereka mengekor langkah sang sopir. Ibu-ibu warga sekitar tak kalah heboh. Langkah mereka menyatu dengan lepuhan aspal terminal.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Rombongan penasaran itu menyaksikan detik memilukan. Sang ibu yang kesakitan. Celana jinsnya yang basah. Air ketubannya sudah pecah. Biasanya tak lama akan muncul lendir darah. Sudah waktunya. “Tos weh candak ngangge taksi ka RBC!” seorang ibu memberi ide. Taklama sang ibu hamil diboyong menuju taksi. Sang ibu pencetus ide sekaligus member RBC (Rumah Bersalin Cuma-Cuma) mendampingi. Pun suaminya.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sepanjang jalan menuju RBC, sang ibu hamil makin lemas. Kepala bayi makin mendesak ingin keluar. Nafasnya sudah tersengal-sengal. RBC sudah tak terlalu jauh. “Bu, tahannya bu! Tarik nafas. Sakedap deui dugi!”. Sang ibu pencetus ide mencoba menenangkan. Suaminya yang duduk di samping supir takkalah panik. “Enggalan, pir! Tos bade babar yeuh!”.
Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Tepat di depan halaman RBC taksi itu diparkir. Sang ibu sudah kepayahan untuk berjalan. Dokter dan bidan berdatangan membantu persalinan. Taksempat ibu itu beralih ke ranjang yang lebih layak. Sang bayi ingin segera keluar. Walhasil ia dilahirkan di sebuah taksi. Tempat lahir yang takbisa ia pilih sebelumnya.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Sang ibu mendapatkan perawatan nifas di RBC. Taklama, ia memaksa untuk pulang. Pertanyaannya, mau pulang kemana? Bukankah dia seorang musafir. Bukankah ia tersesat di belantara terminal dalam kondisi akan melahirkan. Takmembawa barang apapun atau uang sepeser pun. Lalu mau pulang kemana? Dan bagaimana dengan bayi laki-lakinya ini?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Bayi mungil itu berkulit putih. Hidungnya mancung. Ganteng sekali. Mirip dengan ibunya. Cantik tanpa sapuan bedak dan make up. Sejak lahir, tak setetes pun ASI ibunya berikan. Bayinya merengek kehausan. Sebotol susu sapi meredakan tangisnya sementara. Ia lahap karena kelaparan. Sedang ibunya gusar. Ia ingin hengkang. Ia ingin pulang.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Zelfan menangis kian keras. Namun taksedikit pun tangisanya menyentuh nurani sang ibu. Meski hanya sekedar pelukan atau kecupan. Taksedikit pun. Sang ibu bersikeras ingin pulang ke kampungnya. Ia ingin pulang sendirian. Padahal belum usai masa nifasnya. Ia tetap berkeras. Lalu bagaimana dengan dengan Zelfan? Bagaimana dengan bayi mungilnya?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takbisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan . Takkan pernah bisa. Nasibnya kian tak jelas. Ibunya tak mau membawanya pulang. “Tos weh candak. Pasihkeun ka saha weh nu hoyong.” kata sang ibu ringan. Nadanya seperti dengan ikhlas memberi barang saja. Hey, ini seorang bayi bukan barang. Bayi yang lahir membawa masa depan bukan barang mati yang bisa dibuang kapanpun dan dimanapun. Nampaknya sang ibu tak bergeming. Akhirnya setelah berembug, para sopir angkot dan pemuda setempat patungan uang. Uang ini akan dijadikan ongkos sang ibu pulang ke kampungnya. Ibu itu gegas pergi dengan santai. Lalu bagaimana dengan Zelfan?

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takpernah bisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Beberapa hari setelah dilahirkan, ibu angkat Zelfan datang ke RBC. Ibu angkatnya adalah sang ibu pencetus ide itu. Bahkan nama yang Zelfan yang tersemat untuk lelaki mungil itu, ia yang memberi. Ia memutuskan untuk mengurus bayi lelaki malang itu. Batinnya terketuk. Beberapa bulan yang lalu bayinya meninggal dalam kandungan. Kehadiran Zelfan menghapus sedihnya. Kini, ia dan suaminya yang merawat Zelfan. Namun, bayi mungil itu sakit. Ia mengalami diare. Ini mungkin karena susu sapi yang dikonsumsinya. Semacam alergi laktosa.

Namanya Zelfan. Sama seperti bayi-bayi lain. Ia takpernah bisa memilih dimana dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Takkan pernah bisa. Keesokan harinya sang ibu angkat membawa Zelfan kembali ke RBC. Ia meminta rujukan. Diare Zelfan menghebat. Kini ditambah turgor kulit yang menurun. Ubun-ubunnya mulai cekung. Lengkap sudah penderitaan Zelfan. Bayi merah itu ditinggal ibu kandungnya, dan kini harus dirujuk ke rumah sakit karena alergi susu sapi. Seandainya sang ibu kandung mau berbaik hati memberikan ASInya untuk darah dagingnya itu, mungkin hal ini takkan terjadi…
Sahabat, mohon doanya untuk Zelfan ya..

Dalam gerimis yang romantis, 6 Dzulhijah 1431 H

Tidak ada komentar: