Jumat, 26 Agustus 2011

Sebuah Cerpen : Flamboyan

Senja itu cuaca mendung. Awan berkumpul menbentuk kawanan hitam menaungi sepanjang jalan yang kulewati. Menjelang hujan di sore hari suatu yang indah bagiku. Berpayung dalam cuaca hujan amat kurindu. Apalagi kalau beli gorengan hangat, nikmat rasanya.

Angin semilir menyapa rambutku, membuat helaiannya berderai satu-satu. Ah, sore yang kurindu. Jalan terasa lengang kini. Mungkin orang-orang malas ke luar rumah saat cuaca tak bersahabat ini. Siapa bilang tak bersahabat! Suasana kala hujan kan turun ini amat kutunggu. Rasanya romantis. Apalagi kalau ditemani sang kekasih. Ah, melantur.

Angin semakin bertiup kencang. Aku mulai kedinginan. Namun, badanku telah terbungkus jaket wol hitam tebal ditambah sebuah syal merah makin hangatkan leherku. Entahlah akhir-akhir ini cuaca amat dingin. Malah-malah aku sering beser karena kedinginan. Namanya juga respon fisiologis.

Kembali ke cerita, aku masih berjalan sendirian di atas trotoar yang pemandangannya semrawut oleh para pedagang. Beda dengan jalanan Bandung tempo dulu yang indah terawat. Penuh dengan bunga dan rimbun pepohonan. Tapi aku tak terganggu. Toh mereka juga mencari uang buat hidup dan halal pula yang mereka kerjakan. Namun pemerintah dan masyarakat seolah sangat terganggu dengan hal itu. Alasannya tak jauh dari mengganggu ketertiban, keindahan kota, dan sebagainya. Hematku, jika ingin diamankan sebaiknya sediakanlah dulu lapangan kerja pengganti untuk para pedagang itu. Jangan asal gusur, kan sama-sama cari uang buat makan. Meminjam istilah Gus Dur, gitu aja kok repot!

Pandanganku dari trotoar yang semrawut kini kuganti dengan pohon-pohon yang menjulang di sepanjang jalan. Waw! pohon-pohon itu mungkin sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Mungkin pohon ini yang membuat Bandung dulu dijuluki sebagai Kota Kembang. Deretan pohon itu tingginya menjulang kira-kira 12 meter. Kulit batangnya yang licin sudah banyak yang terkelupas. Warnanya coklat kelabu. Akarnya terlihat begitu kuat mencengkram trotoar jalan. Badan trotoar tampak terangkat olehnya seolah membuat retakan besar hasil gempa. Pohon dengan cabang banyak ini serupa payung raksasa. Aku dinaunginya. Daun majemuk dan rapat membuat nyaman. Warnanya hijau muda hingga hijau tua cerah, kaya akan klorofil. Bentuknya seperti pakis, ringan dan lembut. Tampak gemulai dibelai angin. Perlahan berjatuhan dari tangkainya.
Namun yang membuatku lebih kagum, pohon itu berbunga. Bunganya besar persis seperti anggrek. Warna merah jingga hingga merah tua membuatnya makin eksotik saja. Ia mekar dalam sebuah kumpulan padat dan rapat. Kalau orang Sunda bilang raranggeuyan. Harum pula baunya.

Kekagumanku memuncak ketika aku tengadah. Menyaksikan lebih detail pohon nan eksotik ini. Pohon yang menjulang dihadapanku, menyuguhi pemandangan yang luar biasa. Bunga-bunga jatuh berguguran diterpa angin semilir. Melayang-layang dalam buaian angin bak selendang mayang yang turun dari kahyangan. Berserakan di trotoar dan badan jalan dengan warna jingga mencoloknya. Adegan ini persis di film India. Kala sang aktor atau aktris membenamkan tubuhnya dalam lautan bunga warna-warni. Rasanya aku mau dibenamkan juga. Sebuah romantisme yang sublim.

Pohon ini seolah mengeluarkan daya magis yang amat. Menyihirku dalam romantisme yang menyengat. Romantisme yang melumuri seluruh dinding hatiku menjadi jingga warnanya. Romatisme yang membuatku mematung, membatu. Romatisme yang meracuni syaraf-syaraf di otakku seperti bisa ular yang bercampur dalam aliran darah dan membuat lumpuh akralku. Beku. Membenamkan aku dalam pusaran romantisme yang berputar dahsyat dalam otakku. Darah di ubun-ubunku terasa mengelegak. Seluruh isi kepalaku dipenuhi nuansa merah jambu.

Aku mulai jatuh cinta pada pohon ini. Namun nama pohon ini seakan membayang berwujud pertanyaan. Rasa penasaran mulai menekan-nekan dinding hati terdalam. Pertanyaan dalam otakku berjejal-jejal ingin keluar. Isi mulutku tak kuasa untuk menyampaikan kata-kata tanya. Pohon ini membuat aku kaku. Membisu. Tak pernah kutemui pohon sesakral ini sebelumnya. Tiba-tiba seorang pak tua datang menghampiriku yang masih membatu.

"Kenapa neng, kok diem aja?"
"Po-hon-nya pak ?!"
"Oh, ini mah pohon flamboyan, neng. Tapi sayang besok mau di tebang."

Tiba-tiba romantisme yang awalnya membumbung kini melenyap. Sereset bambu serasa tercekat di tenggorokanku. Perlahan kutatap pak tua disampingku. Pandanganku kuyu, melihat pak tua itu hendak berlalu.

Senja itu
Flamboyan berguguran
Seorang dara memandang
Terpukau...

Satu-satu
Daunnya berjatuhan
Berserakan di pangkuan bumi

Bunga flamboyan itu diraihnya
Wajahnya terlihat sayu
flamboyan berguguran
berjatuhan, berserakan

Sejak itu sang dara berharapkan
Esok lusa kan bersemi kembali..

(Bunga Flamboyan oleh Bimbo)

(Dalam romantime flamboyan) Bandung, 040209

Tidak ada komentar: