Jumat, 26 Agustus 2011

Stres, Selangkah Menuju Bunuh Diri


Oleh: ADE FARIYANI

DALAM satu surat kabar nasional, saya dapati ada minimal tiga kasus bunuh diri dalam satu hari. Ini jelas menunjukkan bahwa bunuh diri tren sakit jiwa saat ini. Menurut Konferensi Nasional Jiwa (Konas Jiwa), risiko bunuh diri merupakan salah satu diagnosis penyakit jiwa. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya. Ini sama halnya dengan dalam 40 detik terjadi satu kejadian bunuh diri. Mirisnya lagi, data tersebut diambil pada tahun 2003, bagaimana dengan kini?

Para korban tewas mengenaskan usai terjun dari lantai tertinggi sebuah mal, minum racun serangga atau gantung diri. Kita flashback sebentar. Masih ingat 'kan Heryanto, siswa kelas 6 SD yang mencoba gantung diri karena tak mampu membayar uang kerajinan sekolah atau Usep, siswa asal Cianjur yang nekat menghabisi nyawanya karena urung dibelikan televisi. Orang dewasa pun tak kalah banyak kasusnya. Pemicunya karena sakit kronis, patah hati, terlilit utang dan sebagainya.

Sebenarnya ada perasaan malu yang menyelinap, kala melihat bangsa Jepang melakukan ritual harakiri, yakni menikam atau merobek perut sendiri. Tindakannya mungkin terlihat sama, namun motif yang melatarbelakanginya berbeda. Kebanyakan orang Jepang melakukan tindakan bunuh diri untuk kehormatan. Bagi bangsa Negeri Dewa Matahari itu, kehormatan dan nama baik adalah segalanya. Maka jika seseorang melakukan kesalahan yang mengancam kehormatan keluarganya, dengan sukarela ia akan melakukan harakiri tersebut.

WHO pun menyebutkan bahwa dari 5 orang, 3 di antaranya diindikasikan sakit jiwa. Penyakit jiwa yang diidap bisa dari yang paling ringan hingga berat. Ini menunjukkan bahwa kesehatan jiwa (psikologis) tak kalah penting dari kesehatan jasmani (fisik). Hal ini pun dikuatkan dengan munculnya berbagai penyakit fisik yang musababnya adalah penyakit jiwa (stres).

Stres dan stressor

Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada motifnya. Pun pada kasus bunuh diri. Adanya stressor merupakan pelarian para pelaku melakukan tindakan nekat ini. Stressor adalah segala faktor pencetus jadinya stres. Sedangkan stres merupakan keadaan ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu (Taylor, 1997).

Stres berasal dari istilah Latin yaitu stingere yang berarti keras (stricus). Setelah penelaahan dari waktu ke waktu, istilah stres dapat diartikan sebagai kesukaran, kesusahan, kesedihan atau penderitaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang stres adalah individu yang mengalami penderitaan, kesulitan, dan kesusahan yang tidak mampu dilewatinya. Jika kesulitan itu sudah mengancam serta mekanisme koping (kemampuan untuk menyelesaikan masalah) individu tidak efektif, maka bunuh diri salah satu pilihan untuk mengakhiri penderitaan yang ia alami.

Penyebab

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (Q.S. 2: 155)

Ada banyak stressor yang bisa menyebabkan seseorang stres hingga berniat mengakhiri hidupnya. Faktor yang paling sering muncul adalah ekonomi. Hal ini merupakan alasan kuat pada anak merasa malu karena tak bisa membayar uang sekolah, atau tidak memiliki televisi. Atau juga seorang istri yang sudah putus asa dalam impitan ekonomi karena sang suami tak kunjung bekerja. Hingga lilitan utang seorang pengusaha yang mungkin terlihat kaya dan bahagia.

Stressor lain yang hinggap pada remaja masa kini adalah masalah asmara. Putus cinta, tak diterima jadi pacar, pernikahan yang gagal atau tidak disetujui jadi alasan mereka mengakhiri nyawa. Dalam pikiran mereka daripada menderita sakit hati seumur-umur lebih baik mati. Alasan cekcok rumah tangga, pekerjaan, prolematika orangtua, dan masalah intrapersonal (hubungan antarpribadi) yang tidak harmonis pun mengancam timbulnya stres hingga bunuh diri.

Solusi

Tindakan pencegahan lebih efektif daripada pengobatan. Ungkapan ini benar adanya jika dilakukan dengan tepat. Pencegahan yang paling utama dalam stres terutama pada anak adalah peran keluarga. Keluarga merupakan organisasi pertama tempat tumbuh berkembanganya seseorang. Seringkali kasus stres atau bunuh diri ini lahir dari keluarga yang otoriter. Tindakan tersebut akan menekan anak. Hingga bila tak bisa mencapai apa yang ditargetkan, ia akan merasa menderita dan tersiksa. Ditambah lagi tekanan dan ancaman dari orangtua akan membuatnya kian tertekan.

Pada poor parent relationship (miskin hubungan antara orangtua-anak) pun memicu stres. Setiap hari rumah hanya dibumbui sikap acuh tak acuh antara orangtua dan anak. Kondisi ini akan meniadakan rasa saling hormat, rasa sayang, dan penghargaan antar keduanya. Impian setiap orangtua adalah memiliki anak yang berbakti dan menghormati. Tujuan itu takkan terwujud tanpa adanya penghargaan, kehangatan, dan kasih sayang.

Sedangkan stres dan risiko bunuh diri pada orang dewasa dapat diantisipasi dengan berbaik sangka pada kehendak Tuhan. Masalah kehidupan yang membuat hati kita berombak dapat kita anggap sebagai ujian yang mendewasakan. Ujian sebagai tanda kasih sayang Tuhan pada kita. Toh dengan masalah kita akan lebih dekat pada Tuhan. Dengan masalah pun ketergantungan kita pada Tuhan makin kuat.

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat berkeluh kesah lagi kikir, apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salat."

Surat Al-Ma'arij ayat 19-23 di atas menunjukkan pentingnya salat --ibadah-- sebagai obat dari kesusahan dan masalah yang dihadapi. Salat yang berarti doa ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jiwa seseorang. Menurut A. Carel peraih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, doa yang dibiasakan dan sungguh-sungguh dilakukan, pengaruhnya sangat besar terhadap kejiwaan dan keadaan somatik --fisik-- seseorang. Ketentrraman yang ditimbulkan oleh doa itu merupakan pertolongan yang besar dalam pengobatan dan kesehatan seseorang. (Penulis, alumnus Fakultas Keperawatan Unpad, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung, trainer dan terapis hipnoterapi dan praktisi EFT)**


Galamedia, 5 Januari 2011

Tidak ada komentar: