Jumat, 26 Agustus 2011

Dari Balik Ruang Hemodialisa

Bismillah..

Masih menyambung dari notes saya sebelumnya. Masih tentang skiripsi yang saya ajukan. Dan Alhamdulillah selasa kemarin sidang saya berjalan lancar. Berkat doa teman-teman semua tentunya. Kali ini saya akan berkisah tentang pelajaran apa saja yang saya serap di sana. Dari balik ruang hemodialisa.

Pertama, disana saya dapati seorang anak yang menggapai surga (insya Allah) dengan merawat ayahnya. Ya, ayah ibu tersebut telah menderita gagal ginjal kronis hampir satu tahun lamanya. Perjalanan cuci darah yang seminggu dua kali, cara memberi makan yang tak boleh sembarangan, memberi minum sesuai diet adalah jalan yang terjal baginya. Emosi ayahnya yang labil, kondisi yang tak stabil, harus ia lewati dengan kesabaran dan kepasrahan. Bukan hanya saat ini, tapi seumur hidup ayah beliau.

Meski ada lelah yang menggelayut, ada bimbang yang menganga, ada putus asa yang kerap mendera. Namun pahala Allah adalah obat mujarab penghapus deritanya. Senyum sang ayah adalah air kala dahaga. Melihat senyum tanpa rasa sakit sudah menjadi penawar saat sakit jantung sang ibu kumat. Ah, betapa indahnya birrul walidain yang ibu itu rangkai selama merawat ayahandanya.

Kedua, saya dapati surga pada keikhlasan para istri mendampingi suaminya kala tak berdaya. Meski kantung matanya menghitam melawan kantuk yang sangat. Raga yang sebenarnya renta untuk menghadapi masalah hidup sendiri. Namun ada keikhlasan saat mereka memapah sang suami masuk ruangan. Ada kesetiaan yang terpancar kala mereka menyeka keringat dan kotoran suaminya tersayang. Dengan ringan, tangan mereka tersedia saat suami meminta usapan kala mengeluh pegal, gatal, atau kesakitan.

Ada telinga yang tak henti-hentinya tersedia saat keluhan meraja. Ada hati yang senantiasa lapang saat kebosanan enggan sirna. Ada samudra harapan yang terpancang dalam doa-doa. Meski tangis yang seringkali mengikis asa, namun keyakinan akan keajaiban Tuhan menghapus nestapa.

Ketiga, saya banyak belajar dari seorang gadis yang terlalu dini mengemban sakit ini. Barulah 15 tahun usianya. Seharusnya masih duduk di bangku sekolah ia. Merancang impian dan angan hingga ke langit sana. Meski harapannya terkubur, ia tetap merasa mujur. Pernah suatu hari saya bertanya padanya, “Neng, minder ga sakit gini, ga bisa sekolah?”. Ia hanya menjawab pendek “Ngga, teh.”.

Mengapa ia mujur? Karena ia masih memiliki orang tua yang begitu sabar dalam duka. Ia memiliki hati yang mungkin terbuat dari permata, hingga kilaunya membuat saya belajar banyak hal padanya. Ketegarannya, ketabahannya menghadapi derita, tanpa lelah mempertahankan hidup. Kontras dengan remaja lain yang saya dapati di rehabilitasi jiwa. Hanya karena putus cinta hilang akalnya. Hanya karena patah hati, ingin bunuh diri. Gadis ini membuat mata saya terbuka bahwa mati itu pasti. Kini atau nanti.

Pun, saya terinspirasi dari seorang janda beranak tiga. Sosok tabah terpancar dari sorot matanya yang ikhlas. Hampir tak ada guratan duka di wajahnya. Anak pertamanya, tumpuan hidupnya pada awalnya, divonis gagal ginjal kronis. Ketergantungan sang anak bertambah karena penglihatannya tak purna. Pembuluh darah matanya pecah. Hingga sang ibu harus memapah putranya kemana-mana.

Ketegarannya meski tanpa suami disisi. Kegigihanya memperjuangkan hidup meski hanya berjualan penganan ringan ke sekolah-sekolah. Sikapnya yang supel dan ramah, membuat saya serasa menganggapnya seperti ibu sendiri. Terlebih, ia ingin dipanggil “Mamah” oleh saya. Ah, saya tak bisa mengelak permintaannya. Saya tersihir oleh kelembutan akhlak beliau.

Bukan hanya wanita, lelaki pun mendapat porsi yang sama dalam menggapai surga. Saya dapati sesosok pemuda yang tetap gigih bekerja berdampingan dengan penyakit kronisnya. Meski impian untuk menikah harus ia elakan dahulu karena keterbatasannya, namun ia masih menjemput rizki Allah dengan semangat membara. Meski tubuh yang sebenarnya tak kuat bertahan lama saat sesak mendera, tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berkarya.

Terakhir, ada para bapak yang begitu setia mendampingi istrinya. Meski sang cinta tak lagi muda, tak lagi elok wajahnya, tak kuat lagi raganya, bukan menjadi alasan untuk berpindah ke lain wanita. Sang bapak ada yang memapah istrinya yang tersedu karena belumlah menerima vonis berat itu. Ada pula yang amanah menjaga anaknya selama sang istri cuci darah tanpa gurat kecewa.

Dan yang paling menyentuh saya, seorang lelaki paruh baya dengan gagahnya mendampingi sang istri saat anfalnya tiba. Digenggamnya tangan istrinya, didekatkannya bibirnya ke telinga pujaan hatinya sambil perlahan menalqinkan istigfar dan syahadat. Ada gurat kecemasan jika sang kekasih meninggalkannya segera. Ada kesedihan yang menggema. Meski hanya Allah-lah yang Tahu kapan waktu yang tepat untuk mengambil nyawa, ia tetap setia.

Bandung,100710
Semoga Allah memberi kemuliaan kepada mereka..

Tidak ada komentar: