Jumat, 26 Agustus 2011

Anak-anak Luar Biasa

Bismillah..

“Bu..esnya bu..es…!!!”
Suara seorang bocah lelaki behasil mengalihkan perhatian saya. Saya yang waktu itu sedang menunggu lapak tensi saya. Sekilas saya lihat bocah lelaki itu menawarkan es jajakannya pada sepasang suami istri paruh baya yang tengah menikmati semangkuk baso. Namun mereka mengeleng, enggan. Sang bocah tak patah arang mencari pembeli lainnya. Didekatinya seorang ibu yang tengah duduk dihamparan tikar. Kali ini bocah itu beruntung. Sang ibu membeli lima bungkus es.

Ada rona bahagia di hati sang bocah. Mungkin karena es jajakannya laku. Maklum, Ahad itu Gasibu panas sekali. Maka, es yang dijual sang bocah pantas saja laku. Aku masih mengamatinya dari kejauhan. Berjalan dari satu orang ke orang lain. Menjajakan dagangan dengan wajah polosnya. Rasanya tak ada beban sama sekali. Jauh dari kesan gengsi yang kerap menggelayut pada wajah orang yang lebih dewasa darinya saat disuruh jualan atau mendapat pekerjaan yang kurang sesuai.

Selain bocah kecil itu, ada pula anak lelaki yang membuat saya kagum. Saya kerap bertemu dengannya sehabis pulang kuliah. Sang anak membantu bapaknya mendorong roda-gerobak baso tahu. Karena jalan yang ditempuh agak jauh dan mungkin ia takut bapaknya tak kuat barangkali jadi si anak membantunya. Saya sering menyebutnya “Anak yang berbakti.”
***

Suatu ketika saya akan pulang dari kampus. Saya rasakan perut saya meronta, lapar. Namun saya hiraukan sejenak, berharap nanti di pangkalan damri saya akan membeli makanan. Saat saya hendak menunggu angkot gratis di depan Fikom, ada seorang anak lelaki membawa kotak-kotak makanan. Mungkin sedang menunggu angkot juga.
“A, makanannya masih ada?”
“Masih teh.” jawabnya bersemangat karena tahu saya akan membeli barangkali.
“Ada apa aja?”
“Ada bala-bala, lontong, tahu, pisang, bla..bla..”
“Oh, ya udah saya mau lontong, tahu sama bala-bala aja. Berapa?”
“Seribu lima ratus teh!” dengan cekatan sang anak membungkus pesanan saya.
Saya keluarkan dompet dan membayarnya.
“Jualannya pulang sekolah, A?”
“Iya teh..”
“Sekolah dimana?”
“di MTS yang di bawah teh..”
“Oh, ini yang bikin mamanya?” kata saya seraya menunjuk gorengan yang tersisa.
“Iya teh” katanya sambil membereskan kotak-kotak makanan itu.

Tak lama angkot yang kami tunggu datang. Aku dan anak lelaki itu naik. Ia lebih memilih duduk di depan dekat pak supir. Dan sejurus kemudian turun di daerah Fakultas Pertanian.
“Mangga teh..” katanya sebelum turun padaku. Ku balas dengan senyum kekaguman. Pandanganku tak lepas saat ia turun dari mobil kemudian menyusuri jalan penuh ilalang itu.

Saya sering berdecak kagum pada anak-anak berkemauan kuat seperti itu. Anak yang membuang egonya jauh-jauh. Terlepas dari apa motif mereka berjualan. Saya menganggap mereka anak-anak luar bisa. Yang tak melulu memikirkan kemauannya dan hanya bisa meminta pada orang tua. Yang tak malu menjajakan dagangan saat teman-temannya mengisi waktu untuk sekedar main.

Tiba-tiba saya terlempar pada memori masa kecil saya. Saat SD tepatnya, saya berjual jus mangga di depan rumah. Orang tua saya yang seorang pedagang mungkin menularkan bakatnya pada saya. Saya layani anak-anak yang membeli jus buatan mama. Keuntungannya mama berikan pada saya untuk jajan. Saya pun menjual makanan ringan di depan rumah bahkan di sekolah. Laku juga alhamdulillah.

Hingga kini saya tetap berupaya untuk memanfaat potensi yang saya punya, dengan mejajakan jasa tensi misalnya. Jika ditanya ada rasa malu atau tidak? Ya, malu sih, tapi bukankah malu atau gengsi tak akan menghasilkan uang? :)


Bandung, 10 Mei 2010

Tidak ada komentar: