Jumat, 26 Agustus 2011

Cerpen : Memori Pagi

Bismillah..

Ia menaiki bis itu perlahan. Jilbab merah mudanya melambai. Dicarinya tempat duduk yang memadai. Ya, barisan paling depan tepat di pojok kiri. Ia sandarkan punggungnya. Perlahan membenarkan rok katun hitamnya yang terlipat. Angin pagi menyelusup dari balik jendela menyentuh pipinya yang kemerahan. Membuka tas cangklong coklat tua di pangkuannya. Lalu mengeluarkan buku mungil bertuliskan al-ma’tsurat. Semenit kemudian mulutnya bergumam-gumam. Kerjapan matanya tak lepas dari buku bersampul merah itu.

“Permisi neng, kosong?”
“Iya pak, mangga.”
Seorang pria tambun dengan kemeja kuning izin untuk duduk di sebelahnya. Dengan senyum simpul sang gadis mengabulkan. Bus mulai melaju. Lagi-lagi angin yang menyerah dihantam deru bus menyibak pipi sang gadis pelan.

Pemandangan itu terburai diselang suara kondektur yang menagih ongkos. Sengaja ia goncangkan uang recehan di genggaman. Terpaksa kualihkan pandanganku pada dompetku yang nampak cekak isinya. Sesekali kuberpaling pada sang gadis. Sama, ia pun tengah merogoh koceknya mengeluarkan tiga lembar uang ribuan dan dua koin logam. Diberikanya pada kondektur plus senyum simpul sebagai bonus. Sang kondektur tersipu sejurus kemudian ia menuju arahku. Segera kuberikan uang ongkos tak lupa senyum simpul tak kalah manis dengan sang gadis berikan. Bukannya membalas sedekahku, ia malah melengos begitu saja.

Kukembali melihat paras sang gadis. Dipejamkanya kedua matanya. Mulutnya masih bergumam-gumam. Tampak seperti menghafal. Mungkin ya, karena sebuah Al-Quran mungil tak lepas dari genggaman. Tak mau kalah aku pun membuka bukuku. Wah, buku yang telah seminggu kubaca namun belum khatam juga. Judulnya ‘Untukmu Kader Da’wah’ karya almarhum Ustadz Rahmat Abdullah. Buku dahsyat sang memicu semangat jihadku.

Aku terkenal alim di kampus. Sering kuikuti kajian islam di sana-sini, serasa tertampar dengan paparan dalam buku ini. Bahwa da’wah, sholat, puasa, atau amal apapun namanya harus menyertakan kesempurnaan niat dan kemurnian hati. Ya, semua amal yang dilakukan hendaknya hanya bermuara pada Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Hanya untuk-Nyalah amal, hidup, mati, jiwa serta raga kita. Sebab bila bukan karena-Nya semua kan tersia. Seperti asap yang membumbung di udara. Nampaknya begitu agung namun dalam sekejap hilang diterpa udara.

Untuk menjadi ikhlas rasanya tak mudah. Karena memurnikan niat hanya untuk Allah Azza Wa Jalla banyak godaannya. Seringkali ku terjebak pada amal yang melenceng dari niat. Seperti halnya saat ku sholat agar dibilang anak sholeh. Atau aku rajin hanya untuk mendapat perhatian dari orang tua. Pun saat ku jatuh hati pada sang gadis dihadapanku, ikhlas seakan bukan hal yang mudah dibuat.

Anganku, nafsuku, terkadang lebih menuntunku dari pada hati nuraniku sendiri. Memang rasa suka adalah hal yang fitrah. Rasa ingin menjadikan sang gadis pendamping hidup tak mudah dienyahkan. Angan ingin mempersuntingnya menjadi bidadari dunia akhiratku pun bukan perkara gampang untuk dilenyapkan. Hah, mungkin ini gara-gara ku tak menjaga pandangan. Hingga dengan mudah panah-panah setan menghujam hati dan melambaikan bendera kemenangan. Terbayang ia menyeringai dengan senang.

Hah, lagi-lagi ku hanya menyerah pada nafsu. Matanya, pipinya, bibirnya semuanya indah. Rahman, ada apa dengan aku ini?? Puasa telah kulakukan untuk menahan nafsuku. Namun apalah artinya itu jika godaan datang mendera-dera seperti ini. Aku berada diantara persimpangan di kiriku wajah sang gadis dengan pesonanya berteman setan-setan yang menyeringai senang. Di kananku jurang menghujam namun dibawahnya terdapat surga yang menawan. Ampuni aku Tuhan!!
***
Dengan tergesa ku percepat langkahku. Nafasku masih tersengal. Sesekali kupalingkan wajah kebelakang berharap sang gadis telah menghilang dari pandangan. Ya, mulai sekarang aku ingin melupakannya. Melupakan ingatan tentang mata, pipi, wajah dan semua pesonanya. Aku mau tobat. Mau menyempurnakan niat. Semua ingin kulakukan karna Allah.

Perlahan tersirat awal perkenalannya di situs pertemanan itu. Pura-pura kubertanya tentang kelas sastra yang diketuainya. Bagaimana jika ku bergabung, kapan, dimana, hingga ku berjanji untuk menghadirinya. Ya ini salahku. Meniatkannya hanya untuk lebih mengenalnya. Dan meminta ia untuk membalas perasaanku akhirnya. Tidak, tidak, lupakan, lupakan!! Ayo Eza kamu bisa melupakannya!

“Kang Eza, Kang Eza !!!”
Suara seorang perempuan memanggilku. Ku biarkan dan berusaha mempercepat langkah.
“Kang Eza tunggu!!” suaranya mengeras.
Dengan terpaksa ku balikkan badan melihat siapa yang memanggilku. Oh ternyata Hani adik kelasku. Tapi bersama siapa ia? Mataku hanya bisa melihatnya samar dari kejauhan. Perlahan mulai mendekat. Hani berjalan berbarengan dengan seorang gadis. Tas cangklong coklat, kelebat jilbab merah muda. Pipinya. Bibirnya, mulai terang.
“Kang Eza, ini Teh Dea ketua kelas sastra tea yang waktu itu ditanyain. Katanya mau kenalan, bla..bla..bla..” Hani nyerocos tiba-tiba. Sang Gadis melipat tangannya di depan dada, salam. Tatapannya lembut nian.
Ya Rahman, Kuatkan!!

Bandung,020110

Tidak ada komentar: